Sunday, April 4, 2010

Memahami Islam Dari Berbagai Aspeknya, Yang Tercakup Dalam Normatifitas dan Historisitas

By: Anwar Mohammad
A.    Pendahuluan
Kata “Islam” bagi semua orang , khususnya kaum Muslim sangat tidak asing. Tapi Islam yang bagaimanakah yang kita kenal? Selama ini Islam banyak dipahami sebagai suatu agama yang mewajibkan shalat dan puasa. Artinya jika sudah mendengar Islam, pasti bayangan seseorang sudah menuju pada pemaknaan sakral dan pada simbol tertentu. Seperti masjid, orang berjubah, bawa tasbih, identik dengan pondok pesantren dan sebagainya.
Melihat pemahaman seperti itu, Islam sepertinya hanya sebuah agama yang formalistik. Isinya hanya tentang ibadah dan hanya memfokuskan berhubungan dengan Tuhan. Jika pemahaman mengenai Islam hanya sebatas itu, maka gejala-gejala seperti eksklusifme, anarkisme , tradisionalisme dan bahkan dapat menimbulkan pengkafiran, tidak dapat di hindari. Karena mereka menganggap pandangannya paling benar.
Begitu juga, jika Islam hanya dilihat dengan satu pandangan atau satu sisi, dengan hanya mengacu pada Fiqh misalnya, hal tersebut menunjukkan begitu sempitnya Islam. Atau dilihat dari sudut pandang aliran, Islam terdiri dari berbagai madzhab yang berbeda..Bisa juga dibedakan menurut keotentikannya, misalkan Islam di Makkah lebih asli. Karena Islam lahir di sana. Hal-hal seperti itu membuat pengertian Islam sangat sempit dan menjadi sempit.
Padahal kenyataannya, Islam tidak hanya sebatas pengertian agama, tapi juga sebagai suatu fenomena masyarakat. Jika ingin memahami Islam secara universal, tentunya kita tidak bisa hanya menggunakan satu dari berbagai pancaran mutiara Islam.  Oleh karena itu, untuk memahami Islam secara keseluruhan diperlukan pendekatan yang mencakup atau melihat Islam dari berbagai aspeknya. Dimana penulis akan membagi berbagai aspek tersebut menjadi dua bagian pembahasan, seperti apa yang dijelaskan dalam dalam bukunya Abuddin Nata, yaitu normatif dan historis.
Pendekatan yang dimaksud penulis adalah pendekatan filosofis. Dimana pendekatan ini akan melihat Islam dari berbagai aspeknya. Dengan metode berfikir secara filosofis, diharapkan akan menemukan Islam yang sebenarnya. Untuk lebih jelasnya dalam menggunakan pendekatan ini, maka penulis akan memaparkan terlebih dahulu apa yang disebut pendekatan filosofis itu? bagaimana penggunaannya dan seberapa jauh pendekatan ini berkembang? Yang akan penulis rangkum dalam satu bab tersendiri.
B.     Pendetan filosofis sebagai Instrument Memahami Agama
Ketika filsafat dijadikan sebagai alat untuk mendukung jalannya ijtihad, pemikiran keagamaan Islam mulai menapaki era baru, pencerahan. Melalui struktur logis yang dibangun dalam tradisi filsafat, para intelektual muslim berupaya mengembangkan ilmu keislaman menjadi beragam disiplin ilmu seperti kalam, fiqh, tafsir dan lain-lain. Sayangnya penggunaan filsafat tidak sepenuhnya diterima oleh para ulama atau kaum Islam formalistik tradisionalis. Akibatnya, bangunan pemikiran Islam mengalami stagnasi, bahkan keruntuhan[1].
1.      Sejarah Perkembangan Filsafat dalam metode nalar Islam
Sejak abad 13 pemikiran Islam mengalami kemandekan dan justru Baratlah yang mulai menemukan perkembangannya. Saat itu dunia Islam berada dalam pemikiran yang konservatif, tidak mengalami perkembangan sama sekali. Setiap ada tanda-tanda ingin keluar dari keterpurukan, kekuasaan seakan menjadi penghalang kuat karena sudah ditetapkannya pandangan yang otoritatif.
Menurut catatan para ahli, perkembangan pemikiran Islam mengalami lompatan sejak pemerintahan Islam pindah ke Damaskus, yakni pada masa Bani Umaiyah. Pada saat itu umat Islam dihadapkan pada kebutuhan untuk menjawab persoalan-persoalan riil di masyarakat yang tidak cukup dijawab dengan Qur’an dan Hadits. Karena alasan inilah, maka ijtihad pada masa itu mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan, khususnya pada masa kebesaran pemerintahan Bani Abbasyiyah yang berpusat di Baghdad. Kota Baghdad merupakan pusat kekuasaan Islam wilayah Timur dan Cordova sebagai pusat kekuasaan Islam di Barat yang berupaya mengkaji filsafat[2].
Dalam pandangan Amin Abdullah, pesatnya perkembangan pemikiran umat Islam pada masa kebesaran Islam di Baghdad adalah karena mereka mampu menggunakan filsafat sebagai alat untuk berijtihad. Dengan struktur . ilmiah yang terbangun dalam tradisi filsafat, umat Islam berupaya mengkaji khazanah keislaman dan mengembangkannya dalam beragam disiplin ilmu, seperti kalam, Fiqh, nahwu, tafsir, tasawuf dan lain-lain. [3]
Tanpa dukungan filsafat, ilmu keislaman akan mengalami kelumpuhan, karena ketidak mampuannya mengembangkan pemikiran melalui struktur logis yang ditawarkannya. Hal tersebut telah terbukti, ketika umat Islam mulai menjauhi filsafat dan bahkan memusuhinya, bangunan berfikir umat Islam mengalami stagnasi bahkan keruntuhan. Peristiwa ini tidak lepas dari peran penguasa yang otoriter dalam menciptakan stabilitas Negara. Dalam perkembangannya, pendekatan filosofis didiskriminasi kaum muslimin yang cenderung pada teologi atau syari’at saja. Dapat dikatakan itu karena kritikan al-Ghazali pada pemikiran Ibnu Shina. Dimana kebanyakan muslimin yang berlatar madzhab syafi’i memahami al-Ghazalia anti filsafat. Padahal, dia hanya tidak setuju tentang metafisik spekulatif-nya Ibnu Shina.
Pemahaman negatif terhadap filsafat, sedikit banyak terpengaruh oleh pemahaman seseorang pada filsafat itu sendiri dan lebih lagi dikatakan tidak relevan bagi agama. Tapi jika kita menyimak lagi bagaimana agama yang tidak selalu dapat dipahami secara tekstual dan diamalkan secara tekstual pula, melainkan penjelasan yang logis, maka peran dari pendekatan filosofis sangat dibutuhkan. Karena kredibilatas sebuah doktrim agama, sangat ditentukan sejauh mana argument-argument logis dapat membenarkannya.
2.      Filsafat sebagai sebuah Pendekatan
Sebelum lebih jauh membahas tentang Islam dalam pendekatam filosofis sebagai instrumennya, sangat penting jika kita memahami terlebih dahulu apa maksud dari filosofis sebagai kata sifat dari filsafat itu sendiri. Filsafat berasal dari bahasa yunani yaitu philo yang artinya cinta dan shopis ; kebenaran atau  kebijaksanaan. Jadi yang dimaksud adalah cinta kebenaran atau cinta ilmu, hikmah. Dan juga dapat diartikan sebagai mencari hikmah sesuatu. Dalam istilah, lebih umum didefinisikan “berfikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada”.[4]
Dari definisi tersebut, selanjut filsafat tidak hanya digunakan sebagai kajian memahami alam atau ciptaan Tuhan, termasuk dalam agama. Sehingga menjadi disiplin ilmu tersendiri sebagai sebuah pendekatan yang bertumpu pada metode rasional. Dengan pendekatan filosofis, diharapkan akan menemukan hakikat dari sesuatu tersebut, dalam hal ini agama. Dengan cara demikian seseorang sebagai penganut agama tidak hanya menjalankan ritual agamanya tanpa mengetahui makna spiritual maupun sosial dari ritual tersebut. Hal itu juga akan mengakibatkan kebosanan menjalankannya. Karena semakin mengetahui hakikatnya, maka akan semakin tinggi pula tingkat spiritual orang yang menjalankan.
Hal itu dapat dicontohkanm sebuah pensil, dimana pensil mepunyai banyak bentuk, warna dan harga. Tapi intinya atau hakikatnya pensil merupakan sebuah benda yang dapat menghasilkan tulisan. Dan menjadi media mennyampaikan informasi. Dalam kegiatan agama, dapat dilihat salah satu bentuk ritual dalam Islam yaitu jama’ah shalat. Tujuannya agar orang mersakan hidup bersama orang lain, puasa juga mempunyai hikmah agar seseorang merasakan lapar seperti orang-orang miskin. Dalam haji, misalnya ada salah satu kegiatan yang disebut melempar jumrah, hal itu bermakna seseorang harus membuang jauh-jauh sifat jeleknya.
            Dalam filsafat, tidak hanya menekankan pada segi esoterik saja atau batin, tapi juga tidak menafikan segi eksoterik sebagai formanya. Itulah kenapa terdapat berbagai macam bentuk agama. dan akan betul-betul ditemukan titik persamaan kebenaran yang absolut, universal dalam bentuk Religion.
C.    Sekilas Tentang Makna Islam
Secara bahasa Islam berasala dari kata bahasa Arab, salima, yang mengandung diri masuk dalam kedamaian[5]. Islam juga berasal dari kata aslama yang berarti sama dengan sallama yang berarti meyerahlan sesuatu, menyerah diri pada kekuasaan orang lain, meninggalkan orang di bawah kekuasaan orang lain, meninggalkan (seseorang) bersama (musuhnya), berserah diri kepada (Tuhan); menurut As-Shihhah, al-Muhkam, Ibn Atsir, Taj al-Arus[6].
Dan juga sama dengan istaslama, yang artinya menyerah, meyerahkan diri, pasrah, memasuki perdamai. Sayyed Ali Akbar Quraisyi menunjukkan tiga arti aslama yaitu : berserah diri, mengikhlaskan dan masuk Islam dan juga mendefinisikan sebagai penyerahan lahir dan batin[7]  Sedangkan dalam pengertian istilahnya, sebagaimana harun nasution mendefinisikan (Islam sebagai agama) yaitu agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada nabi Muhammad saw. Sebagai rasul an.
Dari kata-kata tersebut terlihat tingkatan-tingkatan Islam yaitu tingkat kepasrahan. Seperti yang ditulis oleh Al-Mushtafawi yaitu kepasrahan dalam amal lahiriyah (gerak badan), menjadikan diri sesuai dengan amal, niatnya dan menghilangkan kontradiksi antara semuanya. Tidak mengurusi eksistensi pada tingkatan ini, menyatu dengan yang haqq. Dari pengertian bahasa tersebut, kita dapat mengetahui bahwa Islam mengadung arti, patuh, tunduk, taat dan berserah diri pada Tuhan. Diharapkan makna dari kata “Islam”juga sesuai dengan pembahsan ini.

D.    Metodologi Memahami Islam
Islam sebagaimana sudah disinggung di atas sangatlah universal. Dipandang sebagai sebuah agama, Islam juga beragam. Hal tersebut terlihat dari beberapa madzhab yang ada di dalamnya. Dari fenomena masyarakat, Islam terlihat sebagai pandangan hidup yang sudah membumi dan mempengaruhi cara pandang dalam kehidupan masyarakat.
Sudah sedikit disinggung dalam pendahuluan bahwa penulis akan menjelaskan memahami Islam dalam berbagai dimensinya yang tercakup dalam normatifitas dan historisitas Islam, karena seperti yang telah dikatakan Ali Syari’ati bahwa jika kita meninjau Islam dari satu sudut pandang saja, maka yang terlihat hanya satu dimensi saja[8]. Dan kepincangan metodologi dalam memahami Islam tidak dapat terhindarkan.
Sebelum itu, sedikit informasi bahwa para pemikir Islam seperti Ali Syari’ati, Nasruddin Razak dan Mukti Ali juga mempunyai distribusi penting dalam mengutarakan pandangan mereda mengenai metode pemahaman Islam. Ali Syari’ati menawarkan sebuah metode komparasi. Yaitu dengan mengkomparasikan Tuhan Islam (Allah swt) dengan sesembahan agama lainnya. Dan membandingkan kitab suci Al-Qur’an dengan kitab suci agama lain. dan pendekatan aliran.
Kedua tokoh yang lain juga memiliki metode dalam hal ini. Metode tipologi (Mukti Ali) beberapa metode dari Nasruddin yaitu memahami Islam dari sumbernya alqur’an dan hadits, memahami Islam secara integral, mempelajari literatur-literatur tokoh-tokoh besar Islam  dan lain sebagainya. Semua itu menurut penulis dapat dimasukkan dalam dua klasifikasi besar yaitu normatif dan historis. Dengan mengacu dua pembahasan besar yaitu memahami Islam dari dua sudut pandang normatif dan historis. Dimana dua pendekatan tersebut tidak dapat dipisahkan.
Perlu dijelaskan bahwa disini penulis tidak hanya meletakan istilah Islam normatif dan historis sebagai sebuah pengertian khusus. Dalam arti mewakili nama lain atau pendefisian. Seperti apa yang diistilahkan oleh Amin Abdullah. Tapi juga meletakkan dua istilah tersebut menjadi klasifikasi dari berbagai aspek yang ada dalam memahami islam. Itu hanya metode bagi penulis untuk mengcover atau meminimalisir penjelasan yang panjang.
  1. Islam Normatif dan Historis
Yang dimaksud dengan Islam normatif di sini adalah suatu pendekatan untuk memahami Islam dengan melalui ajaran atau doktrin-doktrin Islam. Dapat juga dijelaskan dengan pengertian lain yaitu Islam pada dimensi sakral, yang diakui adanya realitas transendental, yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu atau sering disebut sebagai realitas ke-Tuhan-an. Yang tentunya sudah tercakup dalam kitab suci al-Qur’an dan hadits.
Dengan mempelajari Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan hadits kita akan memperoleh pelajaran-pelajaran yang orisinil. Dalam tataran normatif Islam meliputi berbagai hal, diantaranya adalah tauhid dan aqidah sebagai inti dari ajaran Islam itu sendiri. Selanjutnya akan normatifitas mencakup hal-hal seperti fiqih, tasawuf dan sebagai hasil pemahaman dari teks al-Qur’an tersebut. Kaitannya dengan konteks ini, Islam dipahami menjadi sebuah agama yang diyakini masyarakat.
Dari sisi normatif , Islam dipahami sebagai sebuah keyakinan. Pertanyaan-pertanyaan atau pun jawaban-jawaban ontologi dari sebuah agama pun dipahami dengan dasar keyakinan, bukan suatu proses pemikiran yang logis. Seperti pertanyaan “ siapakah yang menciptakan alam ini?” jawabannya adalah Tuhan. Jawaban tersebut termasuk jawaban agamis atau teologis bukan rasional. Karena sudah ada konsep bahwa Tuhan itu kebenaran absolut.
Hal ini membuat akal seseorang menjadi terpinggirkan untuk berperan dalam keyakinannya sendiri. Tapi menurut para penyiar agama, pemahaman ini sangatlah penting bagi kalangan pemeluk yang masih awam. Keyakina itu tidak hanya terdapat dalam Islam melainkan dalam semua agama. Semua agama pasti berisi tentang keyakinan. Dengan pemahaman yang seperti itu, maka nantinya akan terbangun suatu penjelasan rasional. Seperti pendapat Auguste comte bahwa bangunan suatu agama yang didasarkan pada suatu akal pikiran, pada dasarnya adalah benar-benar tidak masuk akal [9]. Setelah kepercayaan tertata, secara perlahan akan dipahami hakikat simbol-simbol agama, seperti ritual dan sebagainya.
Kembali pada normatifitas Islam, bahwa dari segi normatif ajaran Islam sudah tercakup dalam kitab suci al-Qur’an. Dimana didalamnya tercakup berbagai persoalan atau dengan kata lain, al-Qur’an meliputi banyak dimensi. Sebagiannya telah dipelajari oleh banyak kalangan sarjana. Misalkan, dimensi yang mengandung aspek-aspek linguistik dan sastra al-Qur’an. Akan membentuk pemahaman bahwa Islam adalah agama yang sangat memperhatikan bahasa dan keindahannya. Supaya orang-orang dapat menerima.
Aspek sejarah dalam alqur’an juga dapat menjadi pembelajaran bagi kita. Kisah-kisah nabi, seperti nabi yusuf yang berisi hikmah dimana orang tidak hanya dipandang dari segi fisik saja, melainkan iman batinnya. Hal ini dapat menunjukkan bahwa Islam mengandung banyak hikmah dan contoh yang terpuji. Dan banyak dimensi lainnya, berkaitan dengan persoalan historis dan sosiologis yang tidak mungkin penulis jelaskan gambling di sini.
Dalam hal ini, para sarjana Islam yang ahli dalam bidang-bidang tertentu dapat memberi kontribusi dalam memahami yang terkandung dalam al-Quran. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa berbagai aspek dalam al-Qur’an, jika dipelajari secara keseluruhan akan diharapkan mendapat pemahaman Islam secara menyeluruh dan komprehensif.
Ternyata pernyataan itu belum menjadi sebuah metode mengenal Islam secara komprehensif. Kita juga harus melihat Islam dalam konteks sejarah dan perkembangannya yang terangkai dalam kehidupan masyarakat yang memeluknya. Inilah yang disebut Islam historis. Dari segi historis, yakni Islam dalam arti yang dipraktekkan oleh manusia dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia, maka Islam dapat dikatakan sebagai sebuah disiplin Ilmu, yaitu Ilmu Keislaman atau Islam Studies.[10]Iyang tercakup dalam fenomena sosial-keagamaan disebuah masyarakat.
 Dari perkembangan sejarah Islam menjadi sebuah disiplin Ilmu. sebagai contoh sains Islam yang dikemukakan Hussein Nasr merupakan sains  yang dikembangkan oleh Muslimin sejak abad kedua hingga sembilan masehi. Sains Islam  mencakup berbagai pengetahuan modern seperti kedokteran, matematika, astronomi, fisika  dan sebagainya yang dibangun atas nilai-nilain keislaman[11]. Dari sudut pengetahuannya juga dapat diambil pemahaman bahwa Islam merupakan agama yang kaya akan khasanah keilmuannya. Tak lepas juga dari tokoh-tokoh yang banyak melahirkan teori-teori dasar ilmu pengetahuan dan berbagai penemuannya dalam bidanga teknologi.
Islam dilihat dari sudut historisitasnya juga mencakup berbagai aspek yang ditimbulkan dari praktek sejarah. Sebagaimana dalam buku Islam di tinjau dari berbagai aspeknya,  harun nasution menjelaskan berbagai aspek dalam Islam. Antara lain aspek ibadat, spiritual, moral, aspek sejarah, aspek politik, mistisizm. Aspek filsafat dan lain sebagainya. Begitu juga Fazlur rahman mengemukakan bahwa Islam memiliki aspek hukum, teologi, syari’ah filsafat, tasawuf dan pendidikan.[12]
Dari berbagai aspek tersebut, akan dihasilkan juga pemahaman-pemahaman yang berbeda. Dari sejarahnya terbagi dalam beberapa periode, klasik, pertengahan dan modern. dimana Islam adalah sebuah agama yang disebarkan dengan pedang. Islam merupakan agama yang menjadi penguasa dengan keotoriterannya dan sebagainya. Aspek politik dari Islam juga dapat menjadi pembelajaran bagi kita. Yaitu politik yang diterapkan Nabi Muhammad SAW dikala berdirinya Negara Madinah yang dipimpinnya.
Aspek hukum dan teologi dapat mencerminkan Islam ketika bagaiman Islam menyikapi atau menghukumi hubungan manusia dengan sesama maupun dengan Tuhan dalam masyarakat. Aspek filsafat dan tasawuf, Islam juga mempunyai kesan tersendiri. Bahwa Islam juga mempunyai pemikir-pemikir hebat dalam bidang ini. Dan mampu membuktikan adanya relefansi antara filsafat dan theology. menekankan adanya penggunaan akal pikiran yang jernih dalam menyikapi sesuatu sehingga dapat memahami apa yang dimaksud. Begitu juga dalam bidang tasawuf.
Selain itu semua, berbagai pendekatan juga sangat penting untuk mengkaji atau meneliti Islam yang tak terbatas. Seperti pendekatan sejarah budaya, pendekatan antropologis, social, theologies, tasawuf bahkan pendekatan filsafat itu sendiri dan masih banyak lagi. Pemeparan aspek-aspek diatas hanya merupakan bagian kecil dari Islam. Dan menurut hemat penulis, cukup untuk menjadi representasi dari aspek-aspek lainnya. Oleh karena itu, jika kita dapat mengkaji Islam dengan melihat semua sisi dalam sejarah baik itu sebagai disiplin Ilmu atau fenomena keagamaan masyarakat, maka akan didapatkan pengetahuan tentang Islam secara komprehensif.
 Sebaliknya jika kita mengkaji Islam dari satu atau dua sudut pandang saja, akan dapat menimbulkan pemahaman Islam yang pincanng. Sebagai contoh, memahami Islam hanya dari sejarah perkembangan, akan didapati sebuah praktek kepimpinan pada masa muawiyyah yang otoriter. Dan saja menjadi sebuah pemahan Islam bahwa Islam adalah agama yang disebarkan oleh kekejaman pedang dan kekuasaan yang sewenang-wenang.
  1. Kohorensi antara Islam Normatif dan Historis
Akhirnya dari penjelasan di atas , jika dikerucutkan lagi dalam dua klasifikasi awal yaitu normatif dan historis, tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Semuanya ada koherensi untuk mencapai pemahaman dari hakikat Islam. Mengutip metode pemahan Islam dari Nasruddin Razak bahwa Islam hendaknya dipelajari dari ketentuan normatif teologis yang ada dalam al-Qur’an, baru kemudian dihubungkan dengan kenyataan historis, empiris, dan sosiologis yang ada dalam masyarakat.[13]
Karena kita tidak dapat menafikkan kenyataan ini. Kenyataan dimana kita hidup dalam ruang dan waktu. Kita hidup terdiri dari jasmani dan rohani. Kenyataan tersebut merupakan sebuah media untuk mengamalkan ajaran-ajaran teologis normatif yang ada dalam al-Qur’an. Jika melihat dalam pandangan amin Abdullah, dia menyimpulkan bahwa Islam dapat dilihat dari dua sisi yaitu Islam normative dan historis. Jika melihat Islam dari sisi historis maka Islam dapat menjelma sebagai disiplin ilmu dan jika dilihat dari sisi normatif, Islam menjadi sebuah agama.
Tapi berbeda dengan kesimpulan mukti Ali, bahwa melihat Islam yang diajarkan para ulama’ kampung, memahami Islam dengan cara doktriner. Hal itu akan menyebabkan kesalahan penafsiran jika dikaitkan dengan masalah kontemporer. Begitu juga jika hanya memahami Islam hanya dengan pendekatan ilmiah akademis, sebagaimana yang digeluti para orientalis. Hal itu akan mengakibatkan pemahaman Islam tidak utuh dan sebatas segi luarnya saja. Maka Mukti ali menganjurkan menggunakan dua pendekatan yang dimaksud.
Dengan begitu akan diharapkan menghasilkan kesesuaian antara Islam dalam tataran normatif teologis dan historis empiris. Dan hal itu akan semakin mengukuhkan bahwa Islam adalah agama semua zaman. Dan dapat menjawab berbagai persoalan terkait masalah kehidupan kontemporer.
E.     Penutup
             Dari berbagai penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa dalam memahami Islam tidak dapat digunakan satu atau dua sudut pandang saja. Melainkan berbagai sudut pandang yang termaktub dalam dua klasifikasi besar, yang sudah jelas di atas. Dengan begitu akan menghasilkan pemahaman Islam sebagaimana hakikatnya.
            Walaupun sebenarnya penulis menyadari bahwa tidak mudah untuk melakukan atau mengimplementasikan pendekatan-pendekatan di atas sehingga mendapatkan yang diinginkan. Sekalipun itu orang yang ahli, dalam pengertian akademis. Dan tidak juga lantas menafikkan metode-metode lain dalam memahami Islam. Seperti dengan jalan tasawuf, bagi para sufi atau nabi yang mempunyai tingkat spiritualitas tinggi, hal itu menjadi sangat mungkin.
            Tapi setidaknya didapat sebuah pengetahuan bahwa Islam mempunyai banyak dimensi dan itu perlu digali. Yang menjadi penekanan disini adalah mengetahui aspeknya dan menemukan Hakikat islah dalam pengertian definitif atau mengetahui sebuah makna dari Islam.
            akhirnya Wujud dari pemahaman tersebut akan dapat  mengembangkan wawasan yang luas dan mendalam dalam memahami agama sehingga pesan fundamental agama dapat dikembangkan untuk memperteguh kemanusiaan di tengah-tengah kehidupan yang bergolak. [14]
               Ciputat Baru,  06 Januari 2010

Daftara Pustaka
Nata, Abuddin Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008)
Sukari, Imam dkk, Pilar Islam Bagi Pluralisme Modern, (Solo: tiga serangkai, 2003) cet. pertam
Rahmat,Jalaludin, Islam dan Pluralisme, akhlaq qur’an menyikapi perbedaan (Jakarta:  Serambi, 2006) cet. II
Nasution, Harun, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya Jilid I & II (Jakarta: UI-Press 1985) cetakan 2008.

[1] Hasyim Muhammad, http://ern.pendis.depag.go.id/DokPdf/jurnal/02-teologia-1.pdf
[2] Ibid.
[3] Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1995. Dikutip dari Hasyim Muhammad.
[4] Abudinnata, “metodologi studi Islam” dikutip dari Omar Mohammad Al-Toumy al-Syaibani, falsafah pendidikan Islam (trjmh). Hal. 25  
[5] Maulana Muhammad Ali, Islamologi (dinul Islam) dikutip dari Abudin Nata Metodologi studi Islam 
[6] Jalaludin Rahmat, Islam dan Pluralisme, akhlaq qur’an menyikapi perbedaan Jakarta:  Serambi 2006. cet. II hal. 43
[7] Ibid hlm. 44
[8] Abudin Nata Metodologi Studi Islam, hal. 152
[9] Imam Sukardi dkk, Pilar Islam Bagi Pluralisme Modern . Solo : tiga serangkai 2003. hal.
[10] Abudin Nata Metodologi Studi Islam, hal. 151
[11] Ibid. hlm. 152
[12] Catatan kaki Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, hal. 151
[13] Ibid hlm.156.
[14] Imam Sukardi dkk, Pilar Islam Bagi Pluralisme Modern . Solo : tiga serangkai 2003. hal. 5