Saturday, May 23, 2009

Al-Ghazali dan Ibn Rusyd : Dalam Polemik Pemikiran Filsafat Islam Oleh :
Ahmad Suhaili
Mohammad Anwar
Hamdiah
Ahmad Fauzi




Latar belakang
Dalam sejarah intelektual Islam kedua tokoh ini (Ibn Rusyd dan Al-Gazali) saling bersinggungan bahkan bertentangan mengenai pemikiraan. Pengkafiran yang terjadi di satu pihak, membuat perhatian penuh bagi para pengikutnya. Jawaban-jawaban pedas dilontarkan satu sama lain.
Al-Ghazali di pihak teologi mengkritik kerancuan para filosof bahkan pernyataan-pernyataan filosof dianggap mengeruhkan agama dan menjadikan seseorang menjadi kafir dalam pemikirannya. Ibn Rusyd dipihak yang dkritik menulis buku yang sangat terkenal atas sanggahan dan pengklaiman Ghazali dengan menulis buku berjudul kritik aras kritik.
Penulisan ini bermaskud untuk mencoba menyibak kembali kedua tokoh tersebut dengan metodologi komparatif. Artinya kami mencoba mencari titik singgung persamaan pemikiran kedua tokoh tersebut, yang seolah-olah dalam rentang waktu yang panjang sekali dalam pemikiran Islam menjadi hal yang sangat berbeda dan bertentangan. Akibatnya asumsi-asumsi yang mengatakan bahwa mempelajari filsafat adalah kafir, sulit, membingungkan bahkan menyulitkan dapat dijawab dengan sangat kritis dan lugas, tidak berpihak dan menganggap paling benar.
Kedua tokoh ini mengajarkan kita bagaimana membangun wahana keislaman dengan bersikap kritis terhadap sebuah pemikiran. Namun sayangnya sikap kritis kedua tokoh ini dianggap oleh orang-orang setelahnya bukan hal yang penting dan disalah pahami.



Pembahasaan
Ibn Rusyd yang lahir dan dibesarkan di Cordoba adalah filosof kenamaan yang tidak hanya dikenal di kalangan Islam, melainkna juga di kalangan pemikir-pemikir Barat. Ibn Rusyd tidak hanya menulis karya filsafat, ia juga menulis tentang pengobatan, tentang fauna, masalah karya kosmologi. Teologi, logika, dan berbagai macam karya lainnya. Diantara berbagai karya itu, yang paling mahsyur adalah tahafut at-tahafut. Buku ini lahir sebagai reaksi terhadap karya Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah, kesesatan atau kerancuan atas keracuan atas para filosof. Kata tahafut dipergunakan al-Ghazali untuk menunjukkan kerancuan pemikiran serta kontradiksi para filossof pada beberapa ketuhanan, dan kosmologi.
Gazali dilahirkan di wilayah Thus wafat pada 1111 M. Sejak kecil ia memang sudah terbiasa hidup dan dididik kritis terhadap sebuah pernyataan dalam menghadapi pelajaran-pelajaran yang ia terima. Pada waktu ia menjadi rektor pusat peradaban Islam pada waktu itu di universitas Nizamiyah Irak. Ia mengalami masa-masa keraguan akan kebenaran, sehingga jabatan yang ia terima ditinggalkan dan mengembara ke daerah Damaskus selama 11 tahun. Tulisan-tulisannya begitu terkenal seperti ihya ulumuddin, Misykatul anwar, makasidul Falasifah, sampai ia menulis buku yang sangat popular sebgai Hujjatul Islam yaitu Tahafut al-Falasifah (kerancuan para filosof). Ia mengkritik cara berfikir yang racun sehingga mendapatkan respon yang sangat tajam pula oleh Ibn Rusyd sehingga menghasilkan karyanya mengenai tanggapan kritik pedas Gazali tersebut.
Menurut hemat penulis dan pada umumnya kritikan al-Ghazali menyatakan bahwa ada tiga hal yang membuat pemikiran filosof rancu dan menjadikan kekufuran dalam hal ini al-Gazali mengkritik kerancuna dari segi pernyataan-pernyataan filosof bukan dalam segi fisik yaitu:
1. Keabadian alam
2. Pengetahuan universal Tuhan
3. Kebangkitan Jasmani
Dalam buku Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara yang berjudul "Gerbang Kearifan " menyatakan bahwa al-Ghazali percaya alam itu abadi. Dalam sejarah filsafat Islam, al-Ghazali melontarkan kritikan keras terhadap pandangan para filosof tentang keabadian alam ini. Lebih dari itu, al Ghazali bahkan mengkafirkan mereka dan orang-orang yang mengikuti jejak paham mereka. Menurut al Ghazali, tidak ada ide yang paling menyimpang dari akidah Islam dari pada ide bahwa alam itu abadi. Selain bertentangan dengan pernyataan dalam alQur’an, yang mengatakan "segala sesuatu yang ada di alam akan musnah (fana’), kecuali wajah (esensi) Tuhan. Dan pandangan tersebut juga tidak bisa di pertahankan secara logis. Alasannya, jika alam itu abadi dan Tuhan abadi bagaimana menentukan, siapa yang pencipta dan ciptaan. Karena bagaimana pun pencipta mendahului ciptaannya.
Permasalahan yang kedua yang menyebabkan kekafiran menurut al-Gazali adalah pengetahan universal Tuhan. Baginya para filosof telah mengingakri pengetahuanyang particular.s Dalam buku terjamahannya bahwa:
Tuhan tidak mengetahui tiap partikularia yang dapat dibagi sesuai dengan pembagian waktu ‘telah’, ‘sedang’, dan ‘akan’. Dalam buku itu pertama ia memahami apa masksud pendapat para filosof. Dia memahi bahwa para filsuf sepakat mengenai pendapat "Tuhan tidak mengetahui partikularia-partikularia yang di bagi-bagi sesuai dengan pembagian waktu ke dalam kategori ‘telah’, ‘sedang’, dan ‘akan’. Sebelum melontarkan krtikannya, ia mencotohkan dalam sebuah ilustrasi tentang gerhana matahari. Ketika matahari gerhana, setelah sebelumnya tidak terjadi gerhana, dan ketika kemudian terang kembali, matahari telah melalui tiga keadaan: a) ketika gerhana belum terjadi, dan masih dalm penantian, tergambarkan dalam ungkapan ‘gerhaa akan terjadi; b) gerhana benar-benar dalam keadaan terjadi, yang terungkapkan ; gerhana sedang terjadi c) gerhana sudah tidak terjadi lagi, tetapi beberapa saat sebelumnya ia terjadi, yang tergambarkan dalam ungkapan; gerhana telah terjadi.Ketiga hal ini kita dapat menarik tiga pengertian yang berbeda. Pertama, gerhana tidak terjadi, melainkan akan terjadi, kedua, kita tahu bahwa gerhana ada dan terjadi, ketiga, kita tahu bahwa gerhana telah sedang berlalu, meskipun sudah tidak ada. Dari ketiga tahapan kejadian matahari tersebut, menuntut sang pencipta yang mengetahui segala sesuatu, termasuk pendapat tuhan mengetahui hal-hal yang pertikular, tuhan juga mengalami perubahan dalam pengetahuannya. Sebagaimana kita ketahui, pengetahuan (‘ilm) mengikuti obyek pengetahuan (ma’lum). Jika objek pengetahuan sendiri itu berubah, pengetahuan pun mestinya akan berubah. Dan jika pengetahuan berubah, maka bisa tidak bisa "yang mengetahui" (‘alim) juga akan berubah. Itulah yang tidak mungkin ada pada tuhan.
Permaslahan yang ketiga adalah sanggahan akan kebangkitan jasmani. Menurut al-Gazali, tubuh atau jasad manusia bukan esensi dari manusia. Tubuh yang membentuk manusia tidak akan tersusun tanpa anggota-anggota tubuh. Dan anggota- anggota itu terbentuk melalui proses khusuh, tersusun dari tulang belulang, urat-urat syaraf, daging, tulang rawan, dan berbagai organ yang mendahului bagian-bagian tersusun. Anggota-anggota tubuh tidak akan ada, jika organ dalam tidak ada, organ-organ dalam tidak akan hidup jika tidak diisi dengan makanan yang menjadi materinya. Makanan ada karena binatang dan tumbuh-tumbuhan yang terdiri dari daging dan dedaunan sebagai hasilnya ada. Bila unsu-unsur empat yang tercampur dengan syarat-syarat khusus di atas tidak ada semuanya, binatang dan tumbuh-tumbuhan tidak akan ada.
Proses di atas menunjukkan adanya susunan materi yang mengalami perubahan sehingga membentuk materi yang berupa anggota tubuh. Jika demikian, tubuh manusia tidak membaharu tanpa sebab-sebab tersebut. Fase-fase gradual di atas di ilutrasikan al Ghazali "sebagaimana manusia yang hendak mengubah sebuah besi menjadi suatu pakaian yang teranyam sehingga dapat digunakan sebagai surban. Untuk mengubah besi menjadi surban, harus melalui fase-fase gradul yaitu besi harus dihancurkan menjadi elemen-elemen yang sederhana. Elemen-elemen yang sederhana itu harus diubah lagi sehingga menjadi elemen-elemen yang membentuk kapas. Oleh Karena itu, sebuah besi tidak dapat berubah menjadi suatu surban tanpa melalui proses-proses dan fase-fase tersebut.
Penjelasan di atas, mengindikasikan sesuatu itu tidak akan tercapai dengan hanya mengatakan jadilah ! . sebab tidak ada kata yang ditujukan pada debu yang menjadikan manusia tanpa melalui fase-fase sebagaimana disebutkan. Prosesi dan perjalanan kejadian melalui fase-fase ini tanpa melaksanakan sebab-sebab tertentu adalah mustahil. Dengan kata lain, kebangkitan kembali manusia secara fisik adalah mustahil.
Menghadapi kritikan Gazali diatas, Ibn Rusyd dengan sangat logis menjawab semua sanggahan tersebut. Mengenai keabadian alam, ia mengilustrasikan keberadaan sebuah sinar cahaya dengan matahari berbaringan. Ketika matahari ada maka dengan bersamaan cahaya muncul. Akan tetapi cahaya matahari tidak bisa bersinar tanpa adanya matahari. Disinalah ia sebutkan bahwa temporal priority antara keduanya adalah sama-sama berbarengan, tetapi secara logika priority matahari lah yang lebih dahulu ada. Keabadian alam bukan alam yang sekarang ini ada tanpa ia masih berpotensi. Potensi ini yang dianggap oleh para aliran paripatetik sebagai materi awal yang ada secara azali. Sebagai contoh ketika kita ingin membuat sebuah rumah maka materi awal yang kita butuhkan dan pikirkan adalah bahana-bahan bangunan untuk rumah tersebut.
Permasalahan kedua adalah sanggahan terhadap pengetahuan Tuhan yang akan hanya pada sesuatu yang universal. Ibn Rusyd mempertanyakan kembali bahwa apakah cara pengetahuan tuhan yang partikular terhadap alam ini sama dengan manusia? Ketika kita melihat dengan nyata bahwa pena itu berwarna secara kasat mata, maka wujud merah itu memang ada. Tetapi setelah kita lihat dengan kaca mata lebih detail menggunakan alat pembantu, warna tersebut akan menghilang. Sebuah gunung terlihat berwarna hijau secara jauh, akan tetapi setelah kita dekatkan pandangan mata kita maka warna tersebut menghilang. Disini pernyataan Ghazali terlihat membingungakan, baginya indera itu menipu. Tetapi mengenai hal ini, dia tidak terlalu berfikir kembali secara mendalam akan pengetahuan partikular.
Mengenai kebangkitan jasmani, Ibn Rusyd dengan sangat kritis pula menjawab dengan menafsirkan kembali ayat-ayat Qur’an yang menerangkan wujud fisik surga, hari kebangkitan secara fisik adalah sebagai simbol-simbol kebahagian yang tiada tara. Perumpamaan-perumpamaan tersebut bagi orang biasa adalah pengibaratan asli. Sedangkan bagi para filososf sudah kita ketahui bahwa sesuatu yang fisik itu pasti hancur, maka yang akan ada hanyalah jiwa kita. Disinipula terlihat membingungkan bagiamana pernyataan-pernyataan Ghazali. Menurutnya adalah hal yang sempurna sekali ketika kenikmatan dan kebahagian jiwa dibarengi dengan jasad kita pula.
Setelah persinggungan kedua tokoh ini berkahir, artinya kedua-duanya telah wafat. Maka timbullah rasa akan ketidakinginan atau keengganan para intelek Muslim untuk mempelajari filsafat, khususnya di kalangan Gazali pada waktu itu bahkan memerangi dan membenci filsafat. Maka penulis ingin sedikit mengulas kembali apakah memang fenomena ini harus dibenarkan atau mensterilkan kedua belah pihak?. Apakah memang ada titik persamaan diantara keduanya?
Menurut hemat penulis, ada beberapa segi persamaan diantara kedua tokoh ini yaitu mereka berdua sepakat bahwa peranan akal kita sebagai media untuk memahami agama dan seputar agama. Itu terlihat sekali ketika metodolgi berfikir mereka menyatakan bahwa Ibn Rusyd pernah berkata barangsiapa melarang berfikir maka bagi halnya berarti orang tersebut menggagap makanan itu sebagai racun bagi seluruh manusia dan Ghazali pernah menyatakan bahwa memberikan ilmu kepada si bodoh merupakan pelajaran sia-sia, sedangkan melarang ilmu pada yang berakal itu namanya anianya. Musuh yang cerdas dan berakal lebih bijak dari pada si bodoh.
Kesamaan lain adalah kedua tokoh ini sepakat bahwa potensi yang ada pada setiap manusia itu berbeda-beda. Konsekuensinya adalah memberikan pengetahuan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Maka mengetahui permasalahan-permasalahan seputar ketuhan tidak semuanya bisa.



Kesimpulan
Setelah mengamati dan mengkaji secara mendalam pemikiran antara kedua tokoh, penulis mendapatkan kenyakinan bahwa tradisi pemikiran kritis dalam dunia Islam sudah sangat baik sekali. Namum sayangnya, kebodohan kita mengalahkan tradisi ini.
Penulis pun tidak ingin menyatakan bahwa salah satu tokoh ini ada yang paling benar. Gazali tidak akan mampu mengkritik pemikiran filsafat jika ia belum mengetahui secara betul apa itu filsafat. Ibn Rusyd tidak akan pernah menyatakan pemikiran filosofis yang sangat rumit untuk dipahami oleh kalangan orang-orang awam pada umumnya sebelum Gazali membeberkan dahulu pemikiran filsafat.
Sejarah menyatakan Gazalilah yang menang dalam perdebatan kritis ini, bagi penulis tradisi intelektual tidak pernah berpandangan satu pihak dan tidak ada yang saling mengalahkan, semuanya adalah pengetahuan yang belum pasti.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, dan sumbangan kecil mampu membuka mata kita akan tradisi kritis.


Jakarta, 28 April 2009
State of Nature dan Social Contract
Perjalanan Intelektual John Locke Menuju Sebuah Negara

Oleh: Mohammad Anwar


Pendahuluan
Pada masa abad XVII, dunia dilanda wacana absolutisme. Absolutisme dalam pemerintahan membuat warga negara membungkam mulutnya, dilarang ngomong apapun tentang pemimpinnya. Inggris adalah Negara yang menerapkan sistem pemerintahan itu, yang dikuasai oleh satu pemegang kekuasaan mutlak. Seiring sangat dominannya monarki absolut di Inggris, para pemikir besar muncul dengan gagasan liberalismenya. Salah satunya John Lock, pemikir Inggris yang disebut-sebut sebagai peletak dasar liberalisme.
Liberalisme Locke muncul ketika kondisi Negara pada saat itu dikuasai raja sebagai pemimpin mutlak. Hingga suatu saat Locke terlibat politik dan diasingkan di suatu tempat. Di situlah Locke menciptakan karyanya, Two Treaties on Government. Dalam buku ini Locke menjelaskan secara gamblang bagaimana system pemerintah yang ideal sehingga dia mengesahkan pemberontakan terhadap pemerintah dengan dasar liberalisnya. Karya Locke Two Treaties on Government mengindikasikan penentangannya terhadap monarki absolute dan betapa dia merindukan masyarakat yang hidup damai, sejahtera antar sesama individu tanpa ada perbedaan. Semua itu terdapat dalam konsep Locke, keadaan ilmiah (state of nature), dimana hukum alam mengatur semua itu.
Dalam state of nature pula, kebebasan individu ia tunjukkan sebagai hak-hak dasar yang tak dapat diganggu gugat oleh siapapaun. Hak-hak dasar itu meliputi hak hidup (life), hak akan kemerdekaan (liberty), hak akan kepemilikan (property). Kemudian Locke menyatakan begitu pentingnya suatu Negara untuk melindungi ketiga hak dasar tersebut. Maka terjadilah kontrak social (social contract) antar individu. Dari Kontrak sosial, sebagian kebebasan individu diberikan kepada pemerintahan untuk mengatur warga negaranya. Dengan kata lain Locke mengatakan tujuan terbentuknya Negara adalah untuk melindungi hak-hak fundamental individu.
Sekarang, dengan konsep state of nature dan kontrak sosial timbul pertanyaan besar bagaimana Lock menerapkan dasar liberalismenya sehingga dia mengesahkan pemberontakan terhadap pemerintah? Dengan pertanyaan itu, penulis akan berusaha menjelaskan secara kritis pemikiran liberalismenya Locke dan bagaimana perjalanan inteltual Locke mengenai terbentuknya negara.?





Background History Munculnya Leberalisme Locke
Gagasan-gagasan politik Locke lahir tidak sembarangan muncul tanpa sebab sehingga dia kritis terhadap pemerintahan pada masanya. Pada masa kelahirannya, kondisi Negara kacau balau karena terjadi peperangan terus menerus. Perang saudara, perang agama selalu terjadi tanpa henti pada masa itu. John Loke lahir di Wrington Inggris pada tahun 1632. Pada masa kecilnya dia merasakan langsung bagaimana ngerinya kekejaman perang. Dari situlah benih-benih pemikirannya timbul. Dia mulai banyak berpikir begitu pentingnya kebebasan seseorang untuk hidup damai saling berdampingan.
Beberapa kejadian penting yang mempengaruh pemikiran Locke salah satunya perang antara kaum royalis dan puritan (pembela konstitusi), dimana ayah Locke salah satu tokoh kaum puritan. Akhirnya kaum royalis yang mendukung Raja Charles 1 dapat di tumbangkan. Dengan latar belakang keluarga pendukung konstitusi (puritan) Locke banyak belajar dari situ. Tapi Locke beruntung karena dia juga dapat didikan dari para royalis ketika dia berada di Westminster. Waktu itu dia masih berfikir konservatif, mungkin Pengaruh guru-gurunya dari kedua kubu yang bermusuhan tersebut.
Locke mulai berfikir objektif dan logis dalam melihat sistem pemerintahan setelah dia menimba ilmu di Universitas Oxford. Dia betemu Edward Baghshawe seorang tokoh yang aktif membela kebebasan masyarakat, dalam politik, agama maupun hak-hak alamiah. Dia banyak terpengaruh oleh Edward Baghshawe yang mulanya dia tentang. Dia mulai berfikir tentang pentingnya kebebasan individu dalam gejolak monarki absolut. Seiring berjalannya waktu hingga dia pada suatu saat terlilbat dalam politik. Dia bersama seorang teman bernama Anthony Ashley Cooper yang kemudian menjadi Shaftesbury, menentang keras sistem pemerintahan monarki absolut.
Dari tindakannya itu, dia terpaksa mengungsi ke Belanda untuk mengamankan diri dari penguasa Inggris. Disitulah karya monumental Lock, Two Treaties on Government lahir. Karya itu merupakan refleksi sebagai wujud kekecewaan dan keprihatinannya terhadap dominasi monarki absolut yang diterapkan pemerintahan Inggris waktu itu. Saya kira penting untuk mengurai bagaimana monarki absolut menjalankan sistemnya. Itulah yang menjadi objek intelektual penolakan Locke sehingga lahir pandangan liberalismenya.
Penulis setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa monarki absolut sebagai sistem pemerintahan Inggris merupakan jawaban dari konflik politik akibat peperangan yang tak kunjung selesai. Kalau dilihat konteks sejarah pada waktu itu, negara-negara Eropa khususnya Inggris setelah terjadinya perang saudara antara kaum puritan dan royalis tidak ada jalan yang terbaik selain menerapkan sistem kekuasaan raja mutlak. Situasi dalam pemerintahan yang seharusnya mempunyai tujuan yang sama untuk memajukan negara, saling berbeda pandangan. Jantung pemerintahan terserang konflik yang berkepanjangan.
Dan tidak adanya hukum mutlak yang bisa membuat masyarakat tunduk dan patuh terhadap aturannya. Oleh karena itu, jika ada raja sebagai pemimpin mutlak dan memperoleh pembenaran dari kitab suci semua kekacauan dapat di atasi. Karena masyarakat akan tunduk dengan segala apa yang diperintah oleh raja. Tokoh-tokoh politik sebelum Locke banyak mendeklarasikan kekuasaan absolut agar masyarakat tunduk pada satu penguasa. Hobbes dan Robert Filmer termasuk tokoh tersebut.
Dalam monarki absolut diyakini kekuasaan tunggal raja berasal dari illahi. Kekuasaan yang bersifat illahi berarti suci dan tidak dapat ditentang oleh siapapun. Semua warga negara tidak berhak ikut campur urusan kebijakan penguasa. Karena kekuasaan raja berasal dari Tuhan yang mampu merubah masyarakat berhenti berperang dan tunduk padanya. Warga negara tidak mempunyai kemampuan untuk membuat hukum dan menjalankannya. Kalaupun mampu, hukum-hukum itu menjadi sia-sia karena tidak mungkin ditaati oleh warga negara yang lain. ada alasan-alasan yang membuat hukum tersebut tidak akan jalan. Pertama, warga negara tidak lain hanyalah manusia biasa yang mempunyai kelemahan-kelemahan kecuali yang diangkat oleh tuhan sendiri (dapat anugrah dari Tuhan) karena senantiasa apa yang dilakukan berdasarkan bimbingan Tuhan.
Karena yang membuat aturan dan menjalankan aturan itu orang biasa, maka tidak akan timbul rasa takut dan patuh antara penguasa. Dan malah memberi peluang besar pada orang lain untuk saling memperebutkan kekuasaan. Kedua, jika orang biasa menjadi penguasa, itu menyalahi aturan atau trdisi bahwa raja sebagai penguasa mutlak hanya berasal dari otoritas paternal, turun temurun dari seorang bapak. Dengan kata lain tidak sembarang orang dapat menjadi raja. Dalam monarki absolut hak-hak raja tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Hak-hak raja sebagai penguasa merupakan cermin dari kekuasaan tuhan di muka bumi ini. dan warga negara tidak mempunyai hak untuk mengritik ataupun mencampuri penentuan kebijakan dari raja. Itulah yang membuat warga negara menjadi terkekang kreativitasnya.
Robert Filmer adalah salah satu tokoh pemikir yang membela gagasan absolutisme. Selain berangkat dari kondisi politik inggris karya Locke Two treaties on Government risalah pertama berisi kritikan dan kecamannya terhadap pemikiran Filmer dalam karyanya patriarcha. Secara umum Locke menolak gagasan monarki absolut Filmer dan menjunjung tinggi kebebasan. Kalau dianalogikan, negara bagi Filmer bagaikan tubuh sempurna, tubuh utuh dengan kelengkapan anggota-anggotanya. Anggota tubuh yang terdiri dari kepala, perut, kaki, telapak kaki dianalogikannya berdasarkan unsur-unsur negara dalam konsepnya. Dalam hal ini Filmer mengambil pendapat Aristoteles.
Anggota tubuh kepala bagaikan penguasa yang berkehendak atas dirinya. Kepala sebagaimana fungsinya dalam diri kita berperan penting dalam kehidupan. Kepala memuat segala aspek-aspek penting, otak, mata, mulut, kuping adalah anggota tubuh yang banyak bekerja dan menentukan anggota tubuh yang lain. Seperti saat tangan bekerja, saat kaki melangkah. Begitu juga raja, yang secara kodrati gerakan-gerakan tubuh lainnya bekerja menurut perintahnya dan tidak dapat lepas darinya. Perut dianalogikan sebagai birokrasi (konstitusi), yang menerima dan menampung kebijakan dari raja. Perut yang tidak terisi, tubuh tidak akan bisa jalan karena kelaparan. Birokrasi juga tidak akan berlaku jika raja tidak memberi intruksi. Kaki dapat di bandingkan sebagai rakyat biasa yang kerjaannya hanya menuruti aturan dari raja dan mengerjakan apa-apa sejauh diizinkan raja. Telapak kaki berperan sebagai budak yang hina, yang selalu di tempatkan dibawah dan tidak pernah merasakan kehidupan yang bebas sejahtera.
Pendapat Filmer yang seperti itu sangat bertentang sekali dengan masyarakat sosial yang memiliki kebebasan penuh. Dalam karya Locke sebagian besar berisi mengenai kritikannya pada Filmer yang tidak mungkin penulis jelaskan semua di sini. Berangkat dari kritikan terhadap Filmer sebagai pembela monarki absolut Locke membentuk gagasan lain yang sama sekali bertentangan dengan monarki absolut. Dia menjelaskan bagaimana sistem pemerintahn yang ideal dan dapat merubah keadaan perang menjadi kehidupan sejahtera. Akibat rasa trauma yang dirasakan langsung waktu kecil, Locke merindukan keadaan masyarakat bebas dan makmur. Dia mengkosepkan kehidupan seperti itu dalam keadaan alamiah (state of nature).
State of nature menurut Lock berlawanan sekali dengan yang di kemukakan oleh Hobbes. State of nature sangat menonjolkan kebebasan individu dalam kehidupan. Inilah awal liberalisme Locke lahir, dimana dia mengungkap kebebasan yang memuat hak-hak dasar individu sebagai landasan pemikirannya.



State of Nature Sebagai Awal Lahirnya Liberalisme
Seperti telah sedikit disinggung di atas bahwa state of nature (keadaan alamiah) menurut Locke adalah suatu keadaan masyarakat yang sejahtera, tentram tanpa adanya permusuhan dan hidup berdapingan dengan damai. keadaan alamiah dalam karya Locke merupakan cikal bakal terbentuknya sebuah negara dan sebagai gagasan awal sebagai landasan dasar pemikirannya. Dengan kata lain keadaan alamiah terjadi sebelum adanya negara. Kenapa seperti itu? karena menurutnya dalam keadaan alamiah masyarak bertindak dan menjalankan aktivitasnya berdasarkan hukum alam yang tidak lain adalah hukum tuhan.
Yang perlu dicatat, keadaan alamiah yang dikemukakan Locke merupakan hipotesis untuk menyatakan bagaimana proses munculnya sebuah negara. Hal tersebut juga dikemukakan oleh Russel dalam karya History of Western Philosophy yang intinya, keadaan alamiah merupakan konsep untuk melandasi pemikiran Locke tentang kebebasan manusia dalam sebuah tatanan negara yang dalam realitas sejarah tidak pernah ada. Tapi menurut tokoh filsafat etika Franz Magnis Suseno dalam bukunya “Etika Politik”, dia mengatakan, John Locke menganggap keadaan alamiah itu pernah betul-betul ada.
Kenapa pendapat kedua tokoh itu berbeda? menurut punulis, karena mereka berangkat dari asumsi yang berbeda. Russel melihat itu berdasarkan sifatnya. Artintya dia lebih memahami dari bagaimana Locke berusaha melandaskan gagasan tentang kebebasan manusia menuju terbentuknya negara dengan kekuasaan yang terbatas. Sedangkan Franz Magni Suseno lebih cenderung ke konsteks sejarah pada masa kelam. Dimana Locke terpengaruh wacana tersebut sehingga dia mengambil asumsi dari situ untuk memulai cakrwala pemikirannya. Bagi hemat penulis, dua pendapat tersebut bertemu pada titik yang sama, yaitu sama-sama menyetujui Locke memulai gagasannya dengan dasar keadaan alamiah. Dan menurut penulis lagi, itu sama sekali kurang begitu penting karena yang perlu kita explorasi dari pemikiran Locke adalah keberhasilan menjunjung tinggi kebebasan Individu sehingga dapat meruntuhkah negara yang tidak lain berasal dari kesepakatan mereka.
Kembali pada konsep keadaan alamiah, Locke percaya bahwa setiap individu dilahirkan sederajat. Semua individu punya potensi yang sama dalam berfikir, kemampuan mencari nafkah dan bertahan hidup. Disinilah kebebasan manusia terlihat, dengan adanya tiga unsur hak-hak paling mendasar individu yaitu hak hidup (life), hak akan kemerdekaan (liberty) dan hak akan kepemilikan (property). Ketiga hak mendasar tersebut tidak bisa direnggut oleh siapapun karena itu adalah hak mutlak dari tuhan. Dari hak-hak inilah benih-benih liberalisme lahir sebagai awal kedaulatan manusia dalam sebuah pemerintahan.
Hak akan hidup, merupakan suatu bentuk hak manusia untuk bertahan hidup dengan caranya sendiri. Dia mampu bertanggung jawab atas jiwa dan badannya. Life, juga mengandung hak mempunyai kesempatan untuk mengembangkan potensi dalam dirinya. Banyak potensi-potensi dalam diri manusia yang perlu dikembangkan, seperti potensi kemampuan dalam mencari nafkah dan potensi memperbaiki diri agar menjadi lebih baik . Dari sini Locke tidak membatasi hanya dalam pengertian kehendak manusia akan nyawanya. Life, dalam artian Locke juga mengandung kata livelihood yang artinya mata pencaharian. Maka, itulah kenapa manusia juga bebas untuk mengembangkan potensinya dalam kemampuan mencari nafkah. Sehingga perbedaan manusia atas kekayaan tergantung kemampuannya mengelola mata pencaharian.
Hak akan kemerdekaan (liberty) dalam keadaan alamiah termasuk mencakup semua kebebasan setiap individu. Setiap individu bebas dalam menentukan pilihan apa yang akan dilakukan tanpa adanya paksaan dari otoritas manapun. Termasuk hak bebas dalam berhubungan dengan individu lain dengan harapan saling memberi keuntungan. Bebas dalam bersuara dan berfikir di tengah-tengah kehidupan alamiah. Tapi bukan berarti setiap individu bebas melakukan apapun yang meraka inginkan. Di sini Locke membatasi kebebasan dan membolehkan sejauh kebebasan tersebut tidak mengganggu kebebasan individu lain.
Jika seseorang menggunakan kebebasannya sampai mengakibatkan kebebasan orang lain terhalangi, itu termasuk menyalahi tatanan hukum alam. Dalam keadaan alamiah, jika salah seorang individu menyimpang dari hukum alam, maka hukum akan bicara dan menjatuhi hukuman orang yang bersangkutan. Misalnya terjadi pembunuhan terhadap seseorang, dibenarkan pada keluarga korban untuk menuntut balas. Kasarnya, nyawa harus dibalas dengan nyawa dan itu disahkan dalam keadaan alamiah.
Hak-hak tersebut sebenarnya kebebasan yang bermula dari kebebasan mempunyai kekayaan atau hak milik. Kepemilikan bukan hanya dalam arti sempit, hak memiliki kehidupan sejahtera, bahkan bebas memiliki kebebasan itu sendiri. Hak kepemilikan secara lebih khusus menjelaskan tentang hak setiap individu untuk memiliki sesuatu dan mengembangkannya. Mereka berhak dan bebas untuk mengelola tanah misalnya, sebatas tanah tersebut belum dikelola dan dimiliki orang lain. Dengan begitu, dia tidak melanggar hukum alam karena tidak mengganggu kebebasan orang lain. Gagasan keadaan alamiah Locke mengenai konsep kebebasan property ini di tentang oleh Rousseou.
Ada keganjalan pada konsep propertynya Locke di sini. Dari gagasannya ini locke mengesahkan kegiatan kolonialisme. Dia membenarkan bagaimana para kolonial merenggut tanah-tanah yang dianggap tak berpenghuni dan tak bertuan. Karena kolonial hanya melakukan penguasaan atas tanah kosong, artinya tanah yang dia anggap tidak diurusi dan dikelola dan mereka merasa mampu untuk itu. Mereka melakukan apa-apa yang tidak mengganggu hak orang lain. Jadi kegiatan tersebut tidak melanggar hukum alamiah. Padahal tanah yang mereka maksud tidak berpenghuni dan tak terurus, tidak menafikan adanya pemilik yang berhak atas tanah tersebut. Seperti banyak tanah milik negara yang ingin dijadikan objek pembangunan atau pun obyek perekonomian. berhubung belum adanya dana, maka tanah tersebut dibiarkan sementara waktu.
Keganjalan konsep Locke tidak berhenti sampai situ, dia bahkan membenarkan dan mendukung perbudakan. Perbudakan bagi semua orang sudah barang tentu hal yang tidak baik. Manusia diperbudak berdasar kemauan mereka yang kuasa atas dirinya. Lagi-lagi Locke disini berlindung dengan konsep kepemilikannya (property). Budak menurut Locke sama seperti barang milik dan siapa yang memilikinya berwenang untuk mengelola dan mengembangkannya. Penjual belian budak adalah salah satu cara mengelola barang tersebut. Perlakuan seperti itu bagi Locke mengindikasikan wujud kebebasan atas property.
Dalam hal ini mungkin banyak orang yang tidak setuju atas apa yang telah di kemukakan Locke. Dan bagi penulis pribadi, juga tidak setuju akan hal tersebut. Walaupun Locke menganggap budak itu tidak lain hanyalah sebuah barang bukan manusia, tapi tetap saja itu adalah manusia. Di sini Locke melihat tidak dari esensi manusia itu sendiri yang mempunyai nyawa dan berhak atas nyawanya. Melainkan dia melihat budak sama seperti esensi sebuah barang, dimana barang berguna bagi pemiliknya sehingga menghasilkan barang yang lebih banyak. Bagi punulis manusia tidak bisa dilihat dari fungsi sebagai barang. Tapi manusia adalah manusia tidak bisa digantikan dan disamakan dengan sesuatu yang lain dari pada manusia itu sendiri. yaitu makhluk tuhan yang mempunyai kebebasan untuk hidup sejahtera dan damai.
Itu berarti dia mengingkari manusia dalam gagasannya state of nature. Karena dia mengikat dan membatasi kehendak seorang budak. Budak boleh bertindak jika dibolehkan sang pemilik, budak boleh bekerja sebatas untuk kepentingan pemilik. Dengan begitu dia tidak bisa mengembangkan potensi yang dia ingin kembangkan, tidak bisa bersuara yang dia ingin suarakan dan tidak bisa memiliki apa yang ingin ia miliki. Locke mengingkari sendiri hak-hak dasar yang menyangkut hidup, kebebasan dan kepemilikan.
Keyakinan dan menjungjung tinggi kebebasan individu, yang terwujud dalam hak-hak dasar setiap individu. Itu lah yang menunjukan lahirnya pemikiran liberalisme Paling penting dari keadaan alamiah. hak-hak dasar setiap individu dan mempunyai potensi yang dalam menjalankan hak-hak tersebut. Semua individu mempunyai pengetahuan yang sama bagaimana cara menjaga hubungan antar individu. Mempunyai aturan yang sama dalam diri dalam memanfaat kekayaan alam. Mempunyai cara yang sama dalam menyikapi suatu tindak kekerasan. Sehingga tercipta keseimbangan dalam masyarakat. Ini diungkapkan Locke dalam kaarya utamanya Two Treaties on Governtment ,
“manusia hidup bersama sesuai nalar, tanpa atas yang sama pada bumi, dengan kewenangan untuk menilai di antaranya sebenarnya merupakan keadaan alami” 1
Kutipan tersebut sudah cukup mewakili untuk menjelaskan fenomena keadaan alamiah menurut Locke. Manusia dalam keadaan alamiah sudah diasumsikan mempunyai akal yang sama sebagai hukum. Mereka selalu tergerak untuk saling membantu dan menghukum yang menyalahi aturan sesuai hukum tuhan (reason). Karena di situ manusia sebagai makhluq yang mempunyai derajat sama. Dengan kata lain tidak ada yang membedakan derajat manusia. Walaupun dalam kenyataanya mereka mempunyai kemampuan yang beragam dalam mengembangkan potensi diri. Semua yang dilakaukan menurut akal tersebut sudah pasti rasional tidak menyimpang dari norma-norma nalar manusia. Sehingga dengan akal tersebut manusia tahu batasan-batasan bagi hak-haknya dalam kebebasan dan mewujudkan kehidupan damai.
John Locke bisa dikatakan sukses dengan landasan dasar ini. Tapi kalau kita telik lebih dalam lagi, dia hanya menempatkan kesamaan dan kesejajaran pada potensi setiap individu. Dalam artian bahwa dia memandang kesamaan itu dari segi kemampuan yang sama. Locke tidak melihat kesamaan secara keseluruhan. Kesamaan secara keseluruhan artinya, dia tidak menempatkan kesamaan itu setelah individu berhasil mengembangkan potensinya. Kesamaan itu tidak berlaku pada kemampuan individu yang berbeda-beda. Tidak berlaku dalam kekayaan individu yang berbeda-beda, dan akhirnya pada kesejahteraan yang berbeda-beda pula.
Akibatnya, tidak menafikan timbulnya kecemburuan sosial yang kuat. Hal itu kemungkinan besar akan berdampak keadaan perang. Berarti keadaan perang nantinya terjadi tidak hanya karena penyimpangan terjhadap pemerintah. Dan kalaupun terjadi kesepakatan bersama tujuannya bukan untuk melindungi hak milik, tapi untuk meminimalisir konflik perbedaan dan mencegah peperangan. Itu sama sekali akan keluar dari tujuan berdirinya negara yang dia kemukakan. Liberalisme memang menekankan kebebasan individu, tapi bukan berarti sebebas-bebasnya memprivatisasi segala yang ia inginkan. Tapi setidaknya melihat dampak kepanjangan dari kebebasan tersebut dan mengantisipasi hal tersebut.



Terbentuknya Negara dari Kontrak Sosial
Walaupun setiap individu mempunyai naluri yang sama dari Tuhan untuk mengatur kehidupannya. Namun dengan naluri tersebut tidak selamanya dijalankan dengan efektif dan efisien dalam keadaan yang mungkin berubah. Dalam state of nature ini tentunya tidak selamanya individu-individu bisa mengatur dan menjaga hak-hak dasarnya dengan baik. Hak-hak dasar individu, khususnya dalam hal kepemilikan, orang bebas mengelola tanah miliknya dan bebas mengelola tanah kosong berdasarkan kemampuan masing-masing. Akibat dari kemampuan yang berbeda-beda mestinya menghasilkan kepemilikan tidak merata dan tidak seimbang. Siapa yang lebih mampu mengembangkan potensi untuk mengelola barang kekayaan tersebut, maka dia berhak amemiliki dan menikmati hasilnya.
Di sini individu tidak mungkin terlepas dari konflik dan persaingan dalam hal kemampuan mengekploitasi tanah (property). Oleh karena itu, agar tidak terjadi perebutan ataupun kesalah pahaman, setiap individu berkumpul bersama dalam sebuah komunitas. Dalam komunitas itu antar individu saling besepakat untuk membentuk satu kesatuan politik yaitu negara. Kesepakatan inilah yang disebut kontrak sosial (social contract) oleh Locke. Di sini semua individu berangkat bukan dari kepentingan pribadi ataupun ketakutan melainkan dari kepentingan bersama menuju sebuah keamanan dan ketentraman. Kontrak sosial ini membuat semua individu secara sukarela menyerahkan sebagian hak-hak mereka di bawah naungan negara demi kepentingan bersama.
Hak-hak yang dimaksud bukanlah hak-hak dasar alamiah, tapi hak-hak yang berkaitan dengan sosial. Sebagian hak itu adalah pertama, hak menjaga dan melindungi masing-masing hak milik individu. Jika hak tersebut dijalankan tanpa naungan negara, individu dengan kemampuannya tidak akan selamanya dapat menjaga dan melindungi sendiri. Karena mengingat barang miliknya mempunyai potensi untuk terus bertambah. Maka tidak menafikan timbulnya kejahatan. Yang kedua, hak menghukum orang-orang yang menyimpang dan menyalahi aturan alamiah. Dengan adanya hukum alamiah yang dimiliki masing-masing individu itu belum cukup, karena itu lama-lama akan memicu adanya tindakan anarki. hak-hak itulah yang dimaksud kurang efisien jika dijalankan tanpa adanya sebuah lembaga tertinggi.
Melihat penjelasan di atas, dapat dikatakan tujuan negara merupakan instrumen untuk melindungi hak milik pribadi. Bukan untuk menciptakan kesamaan, atau untuk mengontrol pertumbuhan milik pribadi yang tidak seimbang, melainkan justru untuk tetap mejamin keutuhan milik pribadi yang semakin berbeda-beda besarnya2. hal tersebut makin jelas jika dilihat dari kutipan dalam Schmid, 1965-202, yaitu:
“Negara juga diciptakan karena suatu perjanjian kemasyarakatan antara rakyat. Tujuannya ialah melindungi hak milik, hidup dan kebebasan, baik terhadap bahaya-bahaya dari dalam maupun bahaya-bahaya dari luar. Orang memberikan hak-hak alamiah kepada masyarakat tetapi tidak semuanya”.3
Jadi negara sebagai lembaga tertinggi terbentuk dari perjanjian sosial antar individu, dimana negara hanya menjalankan hak-hak individu yang diembannya. Ketika negara terbentuk, tentulah ditetapkan aturan-aturan di dalamnya. Aturann-aturan itu berasal dari rakyat dan untuk rakyat pula. Artinya, negara hanya boleh menjalankan apa-apa berdasarkan kehendak warga negara yang membentuknya. Berarti setiap individu harus tunduk pada hak-haknya sendiri yang sudah dipercayakan pada negara.
Negara menurut Locke berhak dan berwenang menjalankan amanah rakyat. Setelah negara mendapat legitimasi dari warganya, lantas dia tidak harus sewenang-wenang berkuasa pada rakyat. Tapi negara hanya harus menjalankan sejauh berdasarkan persetujuan rakyat. Negara bergerak pada satu tujuan dari kehendak rakyat. Ini menunjukkan negara tidak mempunyai kuasa penuh atas rakyat, tapi kekuasaannya terbatas. Maksudnya, negara dibentuk dan ditentukan aturan-aturan di dalamnya oleh rakyat tapi rakyat hanya memberikan hak-haknya yang tidak esensial. Negara Dengan begitu, hak-hak mendasar setiap individu tetap terjaga kebebasannya.
Jika kita bandingkan dengan konsep terbentuknya negara yang digagas oleh Hobbes, maka semakin jelaslah perbedaan pemikiran antara keduanya. Hobbes mengatakan negara terbentuk dari sebuh kesepakatan individu yang dilatar belakangi oleh rasa takut kehilangan barang kekayaan mereka. rasa takut pada perang yang mungkin terjadi seperti zaman dulu. Samapi di sini gagasan Hobbes sudah memperlihatkan perbedaan sebuah awal tujuan terbentuknya negara. Rakyat terpaksa mmemberikan sebagian barang kekayaan mereka pada pemerintah, agar hak miliknya tetap dilindungi. Perbedaan yang paling ekstrim lagi, hobbes beranggapan negara nantinya tidak bertanggung jawab pada masyarakatnya tapi hanya bertanggung jawab pada Tuhan yang telah mengangkatnya.



Pentingnya Pemisahan Kekuasaan dalam Negara
Kontrak sosial yang dilakukan antar individu membentuk sebuah negara dan menghasilkan aturan-aturan bagi para warganya. Aturan-aturan itu bisa dijalankan dan ditaati sebatas tidak menentang hak-hak dasar individu. Aturan-aturan itulah yang disebut konstitusi atau hukum konstitusional. Untuk menghindari adanya kekuasaan mutlak pemerintah, Locke menekankan pentingnya pemisahan kekuasaan dalam negara. Dalam konstitusi, kewenangan atas aturan dipisahkan karena kebijakan yang ditentukan oleh satu kekuasaan akan memicu subjektifitas kontitusi.



A. Hak warga negara menentang pemerintah
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan akan lebih memihak dan menguntungkan pembuat kebijakan sehingga menyimpang dari tujuan masyarakat. Artinya, jika memang terjadi hal tersebut, maka akan memicu tindakan-tindakan menyimpang. Pertama, seandainya orang-orang yang mendapat tugas untuk membuat undang-undang, juga merekalah yang menjalankan undang-undang itu, maka tidak dapat dipungkiri adanya kepentingan pribadi yang menyertai undang-undang tesebut. Mereka akan selalu mengesahkan tindakan menyimpang mereka dengan undang-undang yang dibuatnya. Seperti korupsi dan lain sebagainya.
Kedua, bila itu memang benar-benar terjadi, dan tindakan-tindakan menyimpang mereka lakukan terus berlangsung maka keadaan seperti itu akan menimbulkan kesempatan atau peluang untuk menguasai negara. Pemerintahan absolut yang dikemukakan Hobbes akan muncul dan masyarakat madani akan hancur karena hak-hak asasi mereka dirampas. Itulah yang akan di khawatirkan Locke jika pembuat konstitusi dan yang menjalankannya tidak di pisahkan. Bila konstitusi yang dihasilahan kontrak sosial menyimpang dari hak-hak dasar individu maka masyarakat berhak menjatuhkan pemerintah dan membuat perjanjian baru. Disinilah letak bagaimana Lock membenarkan pemberontakan terhadap pemerintah.
“….bilamana legislator mencoba merampas dan menghancurkan hak milik penduduk, atau menguranginya dan mengarah kepada perbudakan di bawah kekuasaan,mereka berada dalam keadaan perang dengan penduduk, dan karenanya penduduk terbebas dari kesalahan apabila membangkang dan biarlah mereka berlindung pada naungan Tuhan yang memang menyediakan penjagaan buat semua manusia dari kekerasan dan kemajuan”4
Dengan kebebasannya masyarakat berhak melakukan apa saja kepada pemerintah jika mereka mengkhianati kepercayaan masyarakat yaitu menyimpang dari hak-hak mereka. Apa yang disebut menyimpang bagi masyarakat? Sudah dijelaskan di atas mengenai hak-hak dasar setiap individu yang tidak bisa diganggu gugat. Sedangkan negara dibentuk denga tujuan melindungi hah-hak tersebut dari segala bentuk gangguan. Nah, jika mereka melakukan sesuatu keluar dari hak-hak individu yang diembannya, melakukan sesuatu di luar kehendak warga negaranya. Maka mereka artinya menyimpang dari kehendak warga negara.
Artian menyimpang sesuai dengan penjelasan di atas bisa beraneka ragam. Mencuri, merampok, korupsi adalah beberapa dari sekian banyak tindakan menyimpang. Dan semua itu bertolak belakang sekali dengan hak alamiah individu. Mencuri dalam arti lebih umum mencakup segala bentuk pengambilan hak tanpa seizing kehendak yang empunya. Mengambil hak hidup seseorang dengan cara apapun dilarang keras dalam hukum alamiah, membunuh misalnya. Begitu juga merampok atau merampas hak orang lain termasuk penyimpangan yang keterlaluan, karena disini ada unsur kekerasan disertai pemaksaan. Yang lebih parah lagi, korupsi, suatu tindak pidana yang paling terkenal dalam wacana dunia, dulu maupun sekarang.
Korupsi termasuk penyimpangan dengan cara mengurangi hak milik masyarakat secara sembunyi, yang jika dilakukan terus menerus akan membuat rakyat sengsara. Tentang korupsi ini, sudah banyak ditentang para tokoh politik sejak dulu. Machiavelli salah satunya, dia sangat mengecam keras korupsi karena korupsi merupakan berpolitik yang jelek. Dan itu tidak sesuai dengan kehidupan politik menurutnya. Kehidupan politik untuk menuju kebahagiaan bersama.
Kembali pada penyimpangan negara, Jika kehidupan politik diwarnai dengan segala penyimpangan seperti itu, maka menurut Locke pemberontakan dari penduduk negara tidak disalahkan. Penduduk negara dengan segala kekuatan dan kebebasannya berhak memerangi pemerintah. Warga negara bersatu membentuk satu kekuatan akan membubarkan dan menurunkan para pemegang amanat yang menyimpang. Dengan demikian, kekuasaan akan kembali pada rakyat dan negara akan kosong sementara waktu, kesempatan inilah oleh masyarakat digunakan untuk mengadakan kontrak sosial yang baru.



B. Negara Konstitusional
Perjanjian sosial yang dikemukakan Locke, adalah upaya dia menunjukkan bahwa negara berdiri atas dasar kehendak masyarakat. Selain itu dia juga menunjukkan penentangannya terhadap monarki absolut dengan adanya konstitusi. Konstitusi yang dikemukakan Locke merupakan isi dari perjanjian sosial itu sendiri. Dengan adanya konstitusi kekuasaan negara menjadi terbatas. Negara tidak bisa mengeluarkan kebijakan sebelum mendapat pengesahan dari konstitusi yang merupakan wujud hak dasar setiap individu. karena kebijakan negara terikat pada hak-hak yang tercakup dalam konstitusi. Sehingga negara hanya bertanggung jawab pada masyarakat.
Kewenangan atas konstitusi oleh Locke dipisahkan mejadi tiga bagian, 1) legislatif (legislative) 2) eksekutif (executive) dan 3) federatif (federative). Sebenarnya locke masih ada satu bentuk kewenangan lagi, yaitu yudikatif, tapi dianggap masuk dalam bentuk legislative dengan pengurus yang berbeda. Yudikatif hanya mengawasi kerja legislatif dalam membentuk konstitusi. Kalau dilihat dari tingkatan bagian-bagian keweanangan tersebut, Locke menempatkan legislatif sebagai kekuasaan tertinggi dari eksekutif dan federatif. Karena legislatif bekerja sebagai pembentuk undang-undang.
Lantas legislatif (parlemen) sebagai tingkatan tertinggi, tunduk pada hukum kodrat dari masyarakat. Dia sebagai pembuat undang-undang tidak langsung bisa bebas membentuk suatu hukum. Tapi hukum yang disusunnya harus berdasarkan hak-hak masyarakat yang dipercayakan kepadanya. Kewenangan membuat undang-undang ini tidak bisa dilimpahkan kepada siapapun. Karena akan terjadi ketimpangan kepentingan jika diserahkan pada eksekutif misalnya. Terlihatlah keterbatasan legislatif, walaupun dia dari segi tingakan lebih tinggi.
Kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mendapat kewenangan menjalankan hukum-hukum yang sudah ditentukan oleh legeslatif. Dengan kata lain, apa yang dikerjakan eksekutif terikat pada peraturan dari legislatif. Eksekutif (pemerintah) dalam menghendaki berbagai kebijakan harus besandar pada perundang-undangan yang sudah ditetapkan legislatif. Tapi tidak semuanya harus bersandar pada aturan legislatif.
“Masih ada ruang gerak yang luas bagi kekuasaan eksekutif untuk melakukan banyak hal dari berbagai pilihan yang tidak ditentukan oleh hukum atau undang-undang”5
Jadi ada kondisi-kondisi tertentu yang membuat eksekutif berhak melakukan tindakan independen. Misalnya, dalam kondisi darurat, seperti kebakaran yang terjadi secara tiba-tiba. Peristiwa itu butuh pertolongan secepatnya dengan menyelamatkan korban yang belum dikenal dan dilarikan ke rumah sakit. Karena memang belum diatur atau dicantumkan dalam undang-undang, maka dia berwenang membuat keputusan tanpa didukung oleh legislatif terlebih dahulu. Dan tindakan tersebut disahkan selagi itu tetap dalam tujuan kebajikan sosial.
Gerak langkah kinerja legeslatif dan eksekutif tentunya tidak berjalan begitu saja tanpa ada pengawasan. Tugas federatif lah yang menangani masalah ini. kekuasaan federatif berwenang untuk mengawasi kedua bentuk kekuasaan tersebut (legeslatif dan eksekutif). Bentuk kekuasaan ini seperti senat yang bertugas mengawasi kegiatan kerja presiden dan parlemen. Selain melakukan pengawasan, menurut Locke kekuasaan federatif juga berwenang menangani urusan internasional. Urusan-urusan kerja sama maupun militer, disini kekuasaan federatif seperti menteri luar negeri yang berwenang dalam hal itu.
Inilah negara konstitusi yang dambakan oleh Locke. Dan itu terwujud dalam kuran waktu yang tidak lama, setelah tokoh-tokoh sesudahnya mengadopsi gagsan Locke. Mereka memploklamirkan pentingnya kostitusi dan pemisahannya dalam sebuah pemerintahan. Sebut saja Monstequieu, yang telah menyempurnakan ajaran tentang konstitusi ini dengan apa yang disebut Trias politik. Pemisahan kekuasaan ini begitu penting bagi Locke, karena akan menyeimbangkan jalannya kehidupan politik dalam negara. Jika memang benar-benar berjalan sesuai bagiannya dan menjaga dan meningkatkan kerja sama antar para pemegang kekuasaan, kehidupan politik yang sejahera akan trus berlangsung.



Kesimpulan
Keadaan alamiah dan kontrak sosial sebagai landasan dasar pemikiran Locke berhasil memperkuat berdirinya sebuah negara. Kebebasan individu yang dikemukakannya melahirnya sekte yang disebut liberalisme. Dimana kebebasan individu dijungjung tinggi. Begitu besar peran pentingnya kebebasan individu itu hingga sesuatunya tidak dapat berjalan tanpa persetujuan setiap individu. Bahkan pemerintahan dapat ditumbangkan dan diganti pemerintahan baru oleh semua individu jika mereka dianggap meyimpang dari hak-hak dasar mereka.
Dari keadaan alamiah dan kontrak sosial, perjalanan intelektual Locke berjalan mulus dan mampu menghadapi segala sanggahan. Kepiawaiannya memploklamirkan kebebasan individu mendapat perhatian besar dari kalangan penentang maupun pengikutnya. Tapi Locke tetap konsisten memegang landasan pemikiran liberalisnya. Bagaimana dia meletakkan konstitusi yang berasal dari sebagian hak-hak dasar individu sangat logis. Pemisahan kekukasaan dalam konsitusi membuat para pemikir sesudahnya menjadi tertarik dan mengadopsi gagasan tersebut.
Akhirnya beberapa kurun waktu, gagasannya mempunyai pengaruh besar dalam sejarah berdirinya negara-negara liberal. Sebut saja Amerika dan Perancis, revolusi-revolusi yang terjadi di negara itu tidak lepas dari buah gagasan Locke. Begitu kuatnya pengaruh dari Locke, wacana Liberalisme sampai sekarang tidak pernah tenggelam melawan musuh-musuhnya.




Jakarta, May 23rd 2009



Daftar Pustaka
Suhelmi, Ahmad, “pemikiran Poltik Barat”, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.
J. Shmandt, Henry, Filsafat Politik; kajian dari zaman Yunani kuno sampai zaman modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
H. Hart, Michael, The 100, Ranking of the Most Influential Persons in History (Terjemahan). (Jakarta : Pustaka Jaya 2003, cet. 21)
Suseno, Magnis, Frans. “Etika Politik”, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1994.
1John Locke, Two Treaties on Governtment, dikutip dari Ahmad Suhelmi. Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001) hal. 190.
2 Franz Magni Suseno, Etika Politik (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1994) hal. 221.
3 Nezar Patria & Andi Arief, Antonio Gramsci Negara dari Hegemoni ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003 cet. II) hal. 91
4 Michael H. Hart, The 100, Ranking of the Most Influential Persons in History (Terjemahan). (Jakarta : Pustaka Jaya 2003, cet. 21) hal.255.
5 John Locke, Two treaties on Government. Hal. 442. Dikutip dari Ahmad Suhelmi “pemikiran Poltik Barat” hal. 202.