Saturday, May 23, 2009

Al-Ghazali dan Ibn Rusyd : Dalam Polemik Pemikiran Filsafat Islam Oleh :
Ahmad Suhaili
Mohammad Anwar
Hamdiah
Ahmad Fauzi




Latar belakang
Dalam sejarah intelektual Islam kedua tokoh ini (Ibn Rusyd dan Al-Gazali) saling bersinggungan bahkan bertentangan mengenai pemikiraan. Pengkafiran yang terjadi di satu pihak, membuat perhatian penuh bagi para pengikutnya. Jawaban-jawaban pedas dilontarkan satu sama lain.
Al-Ghazali di pihak teologi mengkritik kerancuan para filosof bahkan pernyataan-pernyataan filosof dianggap mengeruhkan agama dan menjadikan seseorang menjadi kafir dalam pemikirannya. Ibn Rusyd dipihak yang dkritik menulis buku yang sangat terkenal atas sanggahan dan pengklaiman Ghazali dengan menulis buku berjudul kritik aras kritik.
Penulisan ini bermaskud untuk mencoba menyibak kembali kedua tokoh tersebut dengan metodologi komparatif. Artinya kami mencoba mencari titik singgung persamaan pemikiran kedua tokoh tersebut, yang seolah-olah dalam rentang waktu yang panjang sekali dalam pemikiran Islam menjadi hal yang sangat berbeda dan bertentangan. Akibatnya asumsi-asumsi yang mengatakan bahwa mempelajari filsafat adalah kafir, sulit, membingungkan bahkan menyulitkan dapat dijawab dengan sangat kritis dan lugas, tidak berpihak dan menganggap paling benar.
Kedua tokoh ini mengajarkan kita bagaimana membangun wahana keislaman dengan bersikap kritis terhadap sebuah pemikiran. Namun sayangnya sikap kritis kedua tokoh ini dianggap oleh orang-orang setelahnya bukan hal yang penting dan disalah pahami.



Pembahasaan
Ibn Rusyd yang lahir dan dibesarkan di Cordoba adalah filosof kenamaan yang tidak hanya dikenal di kalangan Islam, melainkna juga di kalangan pemikir-pemikir Barat. Ibn Rusyd tidak hanya menulis karya filsafat, ia juga menulis tentang pengobatan, tentang fauna, masalah karya kosmologi. Teologi, logika, dan berbagai macam karya lainnya. Diantara berbagai karya itu, yang paling mahsyur adalah tahafut at-tahafut. Buku ini lahir sebagai reaksi terhadap karya Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah, kesesatan atau kerancuan atas keracuan atas para filosof. Kata tahafut dipergunakan al-Ghazali untuk menunjukkan kerancuan pemikiran serta kontradiksi para filossof pada beberapa ketuhanan, dan kosmologi.
Gazali dilahirkan di wilayah Thus wafat pada 1111 M. Sejak kecil ia memang sudah terbiasa hidup dan dididik kritis terhadap sebuah pernyataan dalam menghadapi pelajaran-pelajaran yang ia terima. Pada waktu ia menjadi rektor pusat peradaban Islam pada waktu itu di universitas Nizamiyah Irak. Ia mengalami masa-masa keraguan akan kebenaran, sehingga jabatan yang ia terima ditinggalkan dan mengembara ke daerah Damaskus selama 11 tahun. Tulisan-tulisannya begitu terkenal seperti ihya ulumuddin, Misykatul anwar, makasidul Falasifah, sampai ia menulis buku yang sangat popular sebgai Hujjatul Islam yaitu Tahafut al-Falasifah (kerancuan para filosof). Ia mengkritik cara berfikir yang racun sehingga mendapatkan respon yang sangat tajam pula oleh Ibn Rusyd sehingga menghasilkan karyanya mengenai tanggapan kritik pedas Gazali tersebut.
Menurut hemat penulis dan pada umumnya kritikan al-Ghazali menyatakan bahwa ada tiga hal yang membuat pemikiran filosof rancu dan menjadikan kekufuran dalam hal ini al-Gazali mengkritik kerancuna dari segi pernyataan-pernyataan filosof bukan dalam segi fisik yaitu:
1. Keabadian alam
2. Pengetahuan universal Tuhan
3. Kebangkitan Jasmani
Dalam buku Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara yang berjudul "Gerbang Kearifan " menyatakan bahwa al-Ghazali percaya alam itu abadi. Dalam sejarah filsafat Islam, al-Ghazali melontarkan kritikan keras terhadap pandangan para filosof tentang keabadian alam ini. Lebih dari itu, al Ghazali bahkan mengkafirkan mereka dan orang-orang yang mengikuti jejak paham mereka. Menurut al Ghazali, tidak ada ide yang paling menyimpang dari akidah Islam dari pada ide bahwa alam itu abadi. Selain bertentangan dengan pernyataan dalam alQur’an, yang mengatakan "segala sesuatu yang ada di alam akan musnah (fana’), kecuali wajah (esensi) Tuhan. Dan pandangan tersebut juga tidak bisa di pertahankan secara logis. Alasannya, jika alam itu abadi dan Tuhan abadi bagaimana menentukan, siapa yang pencipta dan ciptaan. Karena bagaimana pun pencipta mendahului ciptaannya.
Permasalahan yang kedua yang menyebabkan kekafiran menurut al-Gazali adalah pengetahan universal Tuhan. Baginya para filosof telah mengingakri pengetahuanyang particular.s Dalam buku terjamahannya bahwa:
Tuhan tidak mengetahui tiap partikularia yang dapat dibagi sesuai dengan pembagian waktu ‘telah’, ‘sedang’, dan ‘akan’. Dalam buku itu pertama ia memahami apa masksud pendapat para filosof. Dia memahi bahwa para filsuf sepakat mengenai pendapat "Tuhan tidak mengetahui partikularia-partikularia yang di bagi-bagi sesuai dengan pembagian waktu ke dalam kategori ‘telah’, ‘sedang’, dan ‘akan’. Sebelum melontarkan krtikannya, ia mencotohkan dalam sebuah ilustrasi tentang gerhana matahari. Ketika matahari gerhana, setelah sebelumnya tidak terjadi gerhana, dan ketika kemudian terang kembali, matahari telah melalui tiga keadaan: a) ketika gerhana belum terjadi, dan masih dalm penantian, tergambarkan dalam ungkapan ‘gerhaa akan terjadi; b) gerhana benar-benar dalam keadaan terjadi, yang terungkapkan ; gerhana sedang terjadi c) gerhana sudah tidak terjadi lagi, tetapi beberapa saat sebelumnya ia terjadi, yang tergambarkan dalam ungkapan; gerhana telah terjadi.Ketiga hal ini kita dapat menarik tiga pengertian yang berbeda. Pertama, gerhana tidak terjadi, melainkan akan terjadi, kedua, kita tahu bahwa gerhana ada dan terjadi, ketiga, kita tahu bahwa gerhana telah sedang berlalu, meskipun sudah tidak ada. Dari ketiga tahapan kejadian matahari tersebut, menuntut sang pencipta yang mengetahui segala sesuatu, termasuk pendapat tuhan mengetahui hal-hal yang pertikular, tuhan juga mengalami perubahan dalam pengetahuannya. Sebagaimana kita ketahui, pengetahuan (‘ilm) mengikuti obyek pengetahuan (ma’lum). Jika objek pengetahuan sendiri itu berubah, pengetahuan pun mestinya akan berubah. Dan jika pengetahuan berubah, maka bisa tidak bisa "yang mengetahui" (‘alim) juga akan berubah. Itulah yang tidak mungkin ada pada tuhan.
Permaslahan yang ketiga adalah sanggahan akan kebangkitan jasmani. Menurut al-Gazali, tubuh atau jasad manusia bukan esensi dari manusia. Tubuh yang membentuk manusia tidak akan tersusun tanpa anggota-anggota tubuh. Dan anggota- anggota itu terbentuk melalui proses khusuh, tersusun dari tulang belulang, urat-urat syaraf, daging, tulang rawan, dan berbagai organ yang mendahului bagian-bagian tersusun. Anggota-anggota tubuh tidak akan ada, jika organ dalam tidak ada, organ-organ dalam tidak akan hidup jika tidak diisi dengan makanan yang menjadi materinya. Makanan ada karena binatang dan tumbuh-tumbuhan yang terdiri dari daging dan dedaunan sebagai hasilnya ada. Bila unsu-unsur empat yang tercampur dengan syarat-syarat khusus di atas tidak ada semuanya, binatang dan tumbuh-tumbuhan tidak akan ada.
Proses di atas menunjukkan adanya susunan materi yang mengalami perubahan sehingga membentuk materi yang berupa anggota tubuh. Jika demikian, tubuh manusia tidak membaharu tanpa sebab-sebab tersebut. Fase-fase gradual di atas di ilutrasikan al Ghazali "sebagaimana manusia yang hendak mengubah sebuah besi menjadi suatu pakaian yang teranyam sehingga dapat digunakan sebagai surban. Untuk mengubah besi menjadi surban, harus melalui fase-fase gradul yaitu besi harus dihancurkan menjadi elemen-elemen yang sederhana. Elemen-elemen yang sederhana itu harus diubah lagi sehingga menjadi elemen-elemen yang membentuk kapas. Oleh Karena itu, sebuah besi tidak dapat berubah menjadi suatu surban tanpa melalui proses-proses dan fase-fase tersebut.
Penjelasan di atas, mengindikasikan sesuatu itu tidak akan tercapai dengan hanya mengatakan jadilah ! . sebab tidak ada kata yang ditujukan pada debu yang menjadikan manusia tanpa melalui fase-fase sebagaimana disebutkan. Prosesi dan perjalanan kejadian melalui fase-fase ini tanpa melaksanakan sebab-sebab tertentu adalah mustahil. Dengan kata lain, kebangkitan kembali manusia secara fisik adalah mustahil.
Menghadapi kritikan Gazali diatas, Ibn Rusyd dengan sangat logis menjawab semua sanggahan tersebut. Mengenai keabadian alam, ia mengilustrasikan keberadaan sebuah sinar cahaya dengan matahari berbaringan. Ketika matahari ada maka dengan bersamaan cahaya muncul. Akan tetapi cahaya matahari tidak bisa bersinar tanpa adanya matahari. Disinalah ia sebutkan bahwa temporal priority antara keduanya adalah sama-sama berbarengan, tetapi secara logika priority matahari lah yang lebih dahulu ada. Keabadian alam bukan alam yang sekarang ini ada tanpa ia masih berpotensi. Potensi ini yang dianggap oleh para aliran paripatetik sebagai materi awal yang ada secara azali. Sebagai contoh ketika kita ingin membuat sebuah rumah maka materi awal yang kita butuhkan dan pikirkan adalah bahana-bahan bangunan untuk rumah tersebut.
Permasalahan kedua adalah sanggahan terhadap pengetahuan Tuhan yang akan hanya pada sesuatu yang universal. Ibn Rusyd mempertanyakan kembali bahwa apakah cara pengetahuan tuhan yang partikular terhadap alam ini sama dengan manusia? Ketika kita melihat dengan nyata bahwa pena itu berwarna secara kasat mata, maka wujud merah itu memang ada. Tetapi setelah kita lihat dengan kaca mata lebih detail menggunakan alat pembantu, warna tersebut akan menghilang. Sebuah gunung terlihat berwarna hijau secara jauh, akan tetapi setelah kita dekatkan pandangan mata kita maka warna tersebut menghilang. Disini pernyataan Ghazali terlihat membingungakan, baginya indera itu menipu. Tetapi mengenai hal ini, dia tidak terlalu berfikir kembali secara mendalam akan pengetahuan partikular.
Mengenai kebangkitan jasmani, Ibn Rusyd dengan sangat kritis pula menjawab dengan menafsirkan kembali ayat-ayat Qur’an yang menerangkan wujud fisik surga, hari kebangkitan secara fisik adalah sebagai simbol-simbol kebahagian yang tiada tara. Perumpamaan-perumpamaan tersebut bagi orang biasa adalah pengibaratan asli. Sedangkan bagi para filososf sudah kita ketahui bahwa sesuatu yang fisik itu pasti hancur, maka yang akan ada hanyalah jiwa kita. Disinipula terlihat membingungkan bagiamana pernyataan-pernyataan Ghazali. Menurutnya adalah hal yang sempurna sekali ketika kenikmatan dan kebahagian jiwa dibarengi dengan jasad kita pula.
Setelah persinggungan kedua tokoh ini berkahir, artinya kedua-duanya telah wafat. Maka timbullah rasa akan ketidakinginan atau keengganan para intelek Muslim untuk mempelajari filsafat, khususnya di kalangan Gazali pada waktu itu bahkan memerangi dan membenci filsafat. Maka penulis ingin sedikit mengulas kembali apakah memang fenomena ini harus dibenarkan atau mensterilkan kedua belah pihak?. Apakah memang ada titik persamaan diantara keduanya?
Menurut hemat penulis, ada beberapa segi persamaan diantara kedua tokoh ini yaitu mereka berdua sepakat bahwa peranan akal kita sebagai media untuk memahami agama dan seputar agama. Itu terlihat sekali ketika metodolgi berfikir mereka menyatakan bahwa Ibn Rusyd pernah berkata barangsiapa melarang berfikir maka bagi halnya berarti orang tersebut menggagap makanan itu sebagai racun bagi seluruh manusia dan Ghazali pernah menyatakan bahwa memberikan ilmu kepada si bodoh merupakan pelajaran sia-sia, sedangkan melarang ilmu pada yang berakal itu namanya anianya. Musuh yang cerdas dan berakal lebih bijak dari pada si bodoh.
Kesamaan lain adalah kedua tokoh ini sepakat bahwa potensi yang ada pada setiap manusia itu berbeda-beda. Konsekuensinya adalah memberikan pengetahuan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Maka mengetahui permasalahan-permasalahan seputar ketuhan tidak semuanya bisa.



Kesimpulan
Setelah mengamati dan mengkaji secara mendalam pemikiran antara kedua tokoh, penulis mendapatkan kenyakinan bahwa tradisi pemikiran kritis dalam dunia Islam sudah sangat baik sekali. Namum sayangnya, kebodohan kita mengalahkan tradisi ini.
Penulis pun tidak ingin menyatakan bahwa salah satu tokoh ini ada yang paling benar. Gazali tidak akan mampu mengkritik pemikiran filsafat jika ia belum mengetahui secara betul apa itu filsafat. Ibn Rusyd tidak akan pernah menyatakan pemikiran filosofis yang sangat rumit untuk dipahami oleh kalangan orang-orang awam pada umumnya sebelum Gazali membeberkan dahulu pemikiran filsafat.
Sejarah menyatakan Gazalilah yang menang dalam perdebatan kritis ini, bagi penulis tradisi intelektual tidak pernah berpandangan satu pihak dan tidak ada yang saling mengalahkan, semuanya adalah pengetahuan yang belum pasti.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, dan sumbangan kecil mampu membuka mata kita akan tradisi kritis.


Jakarta, 28 April 2009

No comments:

Post a Comment

pesan anda segera ditampilkan