Tuesday, March 12, 2013

Pengentasan Ekonomi ala Kh. Hasyim Asy'ari

By : ANWAR MOHAMMAD

Isu tentang kesejahteraan masyarakat dari zaman penjajahan sampai sekarang tidak pernah hilang. Runtuhnya salah satu kekuatan besar paham ekonomi, komunisme menjadi batu loncatan bagi musuhnya, kapitalisme untuk berkiprah dalam kompetisi bebas. Batas-batas dan kuasa pemerintah tidak dapat membendung kekuatan liberalisme pasar. Akibatnya, rakyat kecil menjadi korban keserakahan mereka.Tragedi tersebut sudah sangat terasa sejak kolonial Belanda mempekerjakan paksa penduduk pribumi bangsa ini. Mereka dipaksa menjual tanahnya dengan harga murah dan dipekerjakan dengan upah yang sangat kecil. Peristiwa ini membuat saya teringat dengan perjuangan seorang Kyai kampung yang bersemangat menegakkan ajaran Islam. KH. Hasyim Asy’ari adalah seorang Kyai yang memilih berdakwah di daerah yang dimana penduduknya sering melakukan kemaksiatan. Berjudi, minum minuman keras dan main wanita adalah pekerjaan mereka sebagai pelarian akibat tekanan ekonomi. Dengan pekerjaan sebagai buruh di bawah budak kolonial, hidup mereka terus terjerat hutang dan kesengsaraan ekonomi.

Dengan mendirikan pesantren, KH. Hasyim Asyari mencoba berdakwah kepada kaum buruh dan memberi solusi atas himpitan ekonomi yang menerpa mereka. Di pesantren, beliau tidak hanya mengajarkan tentang agama. Tapi juga memberi wawasan pada santrinya tentang bagaimana berwira usaha dan bercocok tanam. Dengan begitu para santri tidak hanya menjadapatkan ilmu dan menjauh dari kemaksiatan, tapi mereka dapat keluar dari keserakahan kapitalisme liberal. Setelah sekian tahun berjalan, bersama KH Wahab Chasbullah dan sejumlah kyai dan saudagar santri lainnya lalu mendirikan Nahdlatut Tujjar pada tahun 1918, sebuah organisasi yang menghimpun kyai dan saudagar Muslim untuk mendobrak ketimpangan ekonomi masyarakat akibat sistem ekonomi liberalisme yang diterapkan kolonialisme Belanda.

Dari apa yang dilakukan KH Hasyim Asy'ari, tercermin manhaj berfikir Ahlisunnah wal Jamaah, khususnya mengenai iqtishadiyyah (perekonomian) bahwa menurut visi al-Qur’an, ayat ke-7 Surat al-Hasyr, “apa saja harta rampasan yang diberikan Allah pada rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota, maka adalah untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan”. Ini dapat diartikan harta harus tidak hanya beredar pada kalangan orang-orang kaya saja. Itu menunjukkan paradikma perekonomian dalam perspektif Aswaja tidak seperti kapitalis, yang memberikan kebebasan dan hak pemilikan tak terbatas pada setiap individu. Dan juga tidak relevan dengan paradigma komunisme, yang ingin merampas semua hak individu dan hanya dikendalikan Negara.

Jadi, kita dapat melihat begitu pentingnya peran pesantren dalam dunia masyarakat miskin dan terjerembak dalam kemaksiatan. Pesantren tebu ireng yang didirikan oleh beliau mampu mengangkat derajat ekonomi masyarakat dan menjadi jembatan menuju kesejahteraan rakyat. Pesantren itu juga mengukuhkan bahwa Islam tidak hanya terbatas pada ibadah (mahdlah), suatu peribadatan yang bersifat formalistik saja. Namun Islam juga mengatur aspek mu’amalah (hubungan antar sesama manusia). Dan sudah sepatutnya, kita sebagai next generation Hasyim A. juga bisa mengaktualisasikan nilai-nilai aswaja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jakarta Bisa "Mati Suri" peringati Nyepi

Seandainya Jokowi mengintruksikan semua warga Jakarta memperingati hari raya nyepi, pasti sangat menarik, Jakarta dalam satu hari berubah menjadi kota mati. Mobilitas ekonomi ter-pause- sejenak, motor-motor istirahat di rumah masing-masing mendinginkan mesin, orang-orang tidak berlalu lalang, jalan-jalan besar Jakarta tak lagi menahan lindasan ban-ban mengikuti tujuan tuannya. Suara bising klakson akibat kemacetan tak terdengar sementara, begitu juga ego dan emosi manusia yang mau menang sendiri. Jakarta akan menghirup nafas sedalam-dalamnya menikmati keheningan. Ini akan jadi semacam terapi bagi Ibu Kota dan warganya.

Sayang, kehiningan seperti ini hanya bisa dilihat di Kute Bali, karena mayoritas penduduknyaberagama Hindu. Agama yang dimulai dari peradaban lembah sungai Shindu ini, mempercayai bahwa dengan menyepi kita bisa melihat diri, bercermin, intropeksi total terhadap diri. Serta menilai pelaksanaan trikaya (kayika = perbuatan, wacika = perkataan, manacika = pikiran) di masa lampau, kemudian merencanakan trikaya parisudha (trikaya yang suci) di masa depan. Hanya dengan Catur Brata di atas, usaha ini bisa dilakukan.

Kalau intinya ada di Intropeksi diri, saya kira semua agama menganjurkan bahkan mewajibkan hal itu. Jadi manusia Indonesia, khusunya mereka para pemimpin bisa ikut memperingati dengan melakukan hal yang sama. Dari mulai Presidennya, pejabat-pejabat pemerintahan dari yang elit sampai tingkat paling bawah, para penegak hukumnya, juga mereka yang terus ngotot pada yang ia anggap benar, padahal keliru. Dan menurut saya, jika "nyepi" ini dilakukan secara nasional atau bisa diwajibkan dengan hukum undang-undang, seminggu sekali saja, maka kedewasaan berfikir dan ego akan berkurang. Setidaknya kita tau, semua tahu bahwa diri sendiri masih banyak yang perlu diperbaiki.

Kenapa harus seperti itu? saya kira Hari raya umat Hindu ini sangat unik, dimana agama-agama lain lebih memperlihatkan keramaian, kemegahan, dengan baju baru, senang-senang, makanan enak dll, mereka umat hindu malah menyepi. Itulah.. Sebenarnya yang ingin dicapai juga untuk kemaslahatan dan keharmonisasin manusia dengan sesama, alam dan Tuhannya.  Dalam hal ini, konsep Hindu yang disebut Trihitakarana, hampir sama persis dengan Islam. Itu tadi, terdiri dari tiga hal untuk mencapai kebaikan dan keseimbangan.

Itu dari sisi spiritualnya, kembali pada warga Jakarta, sisi keharmonisan sosial akan bisa dicapi. Mereka yang kebanyakan berlalu lalang di Ibu Kota ini, sadar bahwa lebih dari 8 jam sehari, hidupnya diabdikan untuk apa yang disebut "uang". Jika angan-angan saya ini bisa terjadi, wah..mata dunia akan tertuju ke sini. Satu-satunya kota tersibut di dunia (Jakarta), "mati suri" dalam sehari.

Sunday, March 10, 2013

Gus Dur, Pram, Politik Mutakhir? setidaknya Kejenuhan Terobati

Sejenak melupakan tugas hidup sehari-hari (nyuci, masak, dll.). sejenak Ngadem dari panasnya Jakarat-Tangerang. Sejenak mengobati kegundahan jiwa dan Sejenak melawan nafsu ketagihan nonton video-video youtube. Ku ambil empat buku dengan tidak terlalu serius, yang penting menarik dan tak harus nyambung.
Buku pertama dan kedua tentang tokoh besar Indoensia yang sering membuat orang menjadi gila, Gus Dur.

Buku yang berjudul "gila gus dur" ini, berisi tulisan-tulisan para cendikiawan dan politikus, seperti Romo Magnis Suseno, Syafi'i Ma'arif, Greg Barton dan Muhammad As Hikam (mantan menteri riset dan teknologi era gus dur). Rata-rata mereka memaparkan ke-kontroversial-an gus dur berdasarkan sudut pandang masing-masing. Syafi'i Ma'arif dan Muhammad Najib mengatakan, Gus Dur memiliki tiga wajah yang menonjol: sebagai tokoh agama, budayawan dan politisi. ketika berada di tengah komunitas NU, dia berperan sebagai ulama (Kyai). Ketika berada di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), dia berperan sebagai budayawan, tetapi ketika bertemu dengan Megawati, B.J. Habibie, Wiranto, maka saat itu Gus Dur dapat dikatakan  sedang memainkan peran Politisi. (Gila Gus Dur, wacana membaca Abdurrahman Wahid, 2010, hal. 1)

Berbeda dengan buku pertama, buku yang diterbitkan tempo ini berisi kumpulan kolom gus dur di TEMPO yang dibukukan ketika Gus Dur naik sebagai Presiden RI.Seperti judulnya, "Melawan Melalui Lelucon" isi tulisan-tulisannya lebih segar, reflektif dan up to date. Melalui tulisan-tulisan ini Gus Dur memperkenalkan kehidupan Kyai dan tradisi pesantren, tentunya dalam berbagai pendekatan yang dikuasai. Bahkan tentang ini, Ulil Abshar menganggap tulisannya paling baik, paling mengandung passion. (hal. xviii). Jika dihubungkan dengan buku pertama, di sini anda akan menemukan penegasan langsung akan keluasan wawasan Gus Dur, dari pendekatan dan berbagai tema yang disajikannya.

Lain halnya dengan dua buku di atas, dua buku yang saya ambil selanjutnya adalah buku sastra, lebih tepatnya novel dan Politik. Dengan citarasa khas bahasanya, novel dari Pramoedya Ananta Toer lagi-lagi mengkisahkan dan menjadikan perempuan sebagai tokoh utamanya. Perempuan yang bergejolak jiwanya ingin kebebasan, menuntut keadilan, perempuan yang tangguh menghadapi hidup dunia yang tak berpihak padanya. Hal ini dapat ditemukan dalam beberapa novelnya, seperti "Bumi Manusia", seorang gadis (dikenal dengan Nyai Ontosoroh) yang hanya pasrah dikawinkan orang tuanya pada kompeni belanda. Tapi akhirnya, memiliki kecerdasan, kewibawaan dan ketegasan. "Gadis Pantai" yang juga diserahkan orang tuanya untuk sang penguasan (Bupati), tapi akhirnya dicampakan karena melahirkan anak perempuan. Dan kali ini Pram menghadirkan "Midah, si manis bergigi emas". Novel ringan ini menggambarkan seorang Midah yang hidup dalam keluarga yang taat beragama dan disayangi orangtuanya, tapi akhirnya tak terurus dan lebih kerasan hidup di jalan setelah adik-adiknya lahir.

Sekali lagi ceritanya, perempuan ini di jodohkan dengan lelaki pilihan ayahnya dan setelah mengandung ia lari dari rumah karena mengerahui sang suami beristri banyak. Dalam fase pelarian inilah Pram menggambarkan perempuan yang begitu kuat. lewar novel ini Pram memperlihatkan ketegangan jiwa seorang humanis dan moralis. Inilah sisi lain dari novel ini, Pram juga memperlihatkan kebusukan kaum moralis - lewat tokoh Hadji Trebus (suami Midah) dan Hadji Abdul (ayahnya) yang hanya rajin dzikir tapi miskin citarasa kemanusiaan. Dan juga serakah. (hal. 7)

Buku terakhir yang saya sebut buku politik ini, lebih berjenis buku akademik referensial. Dimana buku ini juga berisi tulisan-tulisan seorang akademis ilmu politik. Diantaranya, Maurice Duverger, Roy C. Macridis, John G.  Grumm dan lain-lain. Buku yang berjudul "Teori-Teori Mutakhir Partai Politik" ini lahir tahun 1988, ketika kehidupan partai politik di negara kita pada dasawarsa belakangan surut. Partai (politik) tidak lagi menjadi panglima. Penekanan pembangunan nasional lebih pada aspek ekonomi, yang kemudian ada pergeseran relatif memberi bobot yang lebih pada sosial, tetapi belum membuka tirai "sekat politik" itu. Dan tentunya buku ini layak bagi mereka, mahasiswa ilmu politik dan kalangan umum yang getol mengikuti perkembangan partai politik. Ini sangat sesuai dan diperlukan jika ingin membaca fenomena partai politik yang semakin hari semakin komplek di negeri ini. Dari yang sebenarnya berfungsi sebagai jembatan aspirasi masyarakat sampai akhirnya ia (partai politik) menjadi alat untuk mencari kekuasaan da kekayaan pribadi. Hingga korupsi tak terbendung lagi.

Akhirnya, kejenuhan-kejenuhan setiap hari mulai tergantikan. Dari buku-buku tersebut, banyak informasi dan pengetahuan yang saya dapatkan. Jika serius dijadikan referensi untuk sebuah satu tulisan utuh, kira-kira saya akan dapatkan ide dengan tema tulisan "pandangan Gus Dur terhadap fenomena partai politik 4 tahun terakhir". Artinya, saya bisa menjadikan pandangan-pandangan Gus Dur yang menurut beberapa tokoh tidak ada teorinya atau tidak bisa didekati dengan suatu pandangan disiplin ilmu tertentu, sebagai pisau analisa untuk melihat fenomena partai politik sekarang ini. Tentunya dengan dihadapkan dengan teori-teori tokoh dari Barat dalam buku  yang disusun oleh Ichlasul Amal itu. Begitu juga bisa dibenturkan dengan tulisan Pram yang background novelnya tidak jauh-jauh dari sejarah dan kekuasaan (politik). Ini tentunya sangat menarik, mengingat pandangan Gus Dur yang lintas disiplin ilmu. Apalagi jika didekati secara comedic yang khas ala Gus Dur, mungkin akan ditertawakannya.

Menyetir tulisan Muhammad As Hikam, Gus Dur ibarat teks yang bebas ditafsirkan. Karena itu tidak mungkin pemahaman atas Gus Dur bisa dimonopoli penafsiran tunggal. Sekalipun menggunakan pendekatan posmo ala Michael Foucault yang menolak otoritas si pencipta (the author). Bahkan Gus Dur sendiri pada titik tertentu, tak lagi memonopoli pemahaman atas wacana dan kiprah yang dibuatnya sendiri. Apalagi saya, yang maish sangat minus atas pemahaman dan wawasan intelektual. Tapi, setidaknya kejenuhan terobati, sebagaimana niat awal menulis artikel ini.