Filsafat

Orientalisme-Oksidentalisme (1)
NURCHOLISH MADJID

Pembicaraan tentang orientalisme dan oksidentalisme akan sulit terhindar
dari nuansa polemis. Orientalisme sebagai suatu disiplin telah muncul di
kalangan orang Barat (orang oksidental), sedangkan oksidentalisme baru
muncul hanya belakangan ini saja di kalangan orang Timur (orang
oriental). Almarhum Prof. Harun Nasution menggagasi kajian budaya Barat di
IAIN Jakarta, dan Hassan Hanafi dari Mesir menulis buku komprehensif
tentang kajian Timur.

Secara perkamusan, orientalisme diterangkan sebagai "Scholarly knowledge
of eastern cultures, languages, and people" (Pengetahuan akademis tentang
budaya, bahasa dan bangsa-bangsa Timur). Sebaliknya, oksidentalisme
sebagai disiplin ilmu harus diartikan tidak lain sebagai "pengetahuan
akademik tentang budaya, bahasa dan bangsa-bangsa Barat." Karena asumsinya
yang mau melakukan kajian oksidentalisme ialah "orang Timur," maka dapat
diduga bahwa disiplin itu belum tumbuh dan berkembang dengan kokoh, dan
baru dalam tahapan rintisan, jika bukan hanya sekedar gagasan.

Keadaan yang belum banyak menjanjikan itu berasal dari masih lemahnya
tradisi keilmuan bangsa-bangsa Timur, nisbi jauh di belakang bangsa-bangsa
Barat. Tetapi dengan contoh rintisan Hasan Hanafi lewat bukunya
Oksidentalisme, kini mulai dirasakan perlunya penggagasan oksidentalisme
secara lebih bersungguh-sungguh. Jika diperhatikan sedikit lebih mendalam,
dorongan melakukan kajian budaya Barat itu ada dalam dua arah: pertama,
untuk memahami secara kritis budaya Barat itu sendiri, dan kedua, untuk
membantu menghilangkan situasi saling salah paham antara Barat dan
Timur. Yang terakhir itu penting sekali, mengingat bahwa situasi saling
salah paham itu sudah lama terjadi, lebih-lebih dengan adanya
"orientalisme" yang telah tumbuh dan berkembang ratusan tahun, dengan
puncaknya berupa tesis Huntington tentang perbenturan peradaban (clash of
civilization).

Persoalan pertama berkenaan dengan orientalisme dan oksidentalisme ialah
istilah dan pengertian "orient" dan "oksiden" itu sendiri: "Barat" dan
"Timur" sesungguhnya tidak mempunyai realita obyektif, kecuali jika
dibatasi sebagai cara pengenalan arah angin yang nisbi (sebab sesuatu ada
di barat atau di timur, dengan sendirinya, tergantung kepada kedudukan
orang yang memandangnya). Dan dalam bahasa arab, kata-kata "syarq" untuk
"timur" semata berarti "terbit", dan kata-kata "gharb" untuk
"barat" berarti terbenam. Karena itu untuk "timur" juga digunakan
kata-kata "masyriq" (tempat terbit [matahari]), dan untuk
"barat" digunakan kata-kata "maghrib" (tempat terbenam [matahari]),
halmana semuanya adalah nisbi belaka, tidak mutlak.

Lebih-lebih pada masa ketika sudah diperoleh kemantapan pengetahuan bahwa
bumi itu bulat (dan konon alam semesta juga bulat), maka arah angin pada
hakikatnya menjadi mustahil. Cukup menarik bahwa hal itu telah ditegaskan
oleh al-Razi, seorang penafsir klasik al-Qur'an, atas ayat
Q. 24: 35"...sebab yang berpendapat bahwa bumi bulat tidak memandang
adanya timur dan barat pada dua tempat tertentu; sebaliknya, setiap negeri
mempunyai timur dan baratnya sendiri."

Dalam istilah "orientalisme" dan "oksidentalisme" terkandung pengertian
"timur" dan "barat" sebagai konsep geo-kultural dan geo-politik. Jika kita
amati sejarah berbagai bangsa, atau bahkan pandangan kultural dan politik
mereka sampai sekarang, kita akan temukan jenis-jenis konsep geo-kultural
dan geo-politik yang sepadan dengan kelaziman kontemporer di Eropa dan
Amerika (mungkin juga masih ada pada orang-orang Australia dan Selandia
baru) untuk mengenali diri mereka sebagai "Barat" dan lainnya
"Timur". Orang Jawa, misalnya, membagi manusia, khususnya di Asia Tenggara
ini, menjadi "Jawa" dan "Sabrang," dengan konotasinya sendiri. Orang Cina
terkenal sekali dengan pandangan mereka tentang "Negeri
Tengah" (Tiongkok) dan "Orang Tengah" (Tionghoa) dengan klaim kuat atas
sentralitas negeri dan bangsa mereka, sementara orang lain, dengan
sendirinya, bagi mereka adalah "orang pinggiran" atau "periferal," juga
dengan segala konotasinya.

Orang Arab, khususnya penduduk Makkah pada masa sebelum Islam, mempunyai
konsep geo-kultural yang sedikit-banyak sepadan dengan yang lain. Mereka
dahulu, seperti banyak bangsa-bangsa Timur-Tengah, menganut keagamaan
pemujaan (dewa) Matahari, yang disebut Syamas. Mereka menyembahnya saat
"dewa" itu menampakkan diri, yaitu saat matahari itu terbit di
timur. Dalam posisi itu serta-merta mereka melihat diri mereka ada di
pusat jagad, dengan negeri-negeri di sebelah kiri dan kanan mereka, yang
masing-masing di sebelah utara dan selatan. Mereka sebut negeri sebelah
utara itu "Syam" (Kiri), meliputi seluruh wilayah Syiria, dan yang sebelah
selatan "Yaman" (Kanan), meliputi seluruh wilayah Jazirah Arabia sebelah
selatan. Dengan sendirinya kota Makkah, yang juga disebut sebagai Umm-u
'l-Qura (ibu negeri, metropolis) adalah pusat semuanya itu. Pandangan
geo-kultural orang Arab Makkah itu bertahan sampai sekarang, dan nama-nama
negeri Syam dan Yaman juga bertahan tanpa rasa keberatan.

Pandangan geo-kultural Arab Makkah itu, sebagaimana telah diisyaratkan,
adalah bagian dari gejala umum kultus matahari sebagai "Sol
Invictus" (Matahari yang tak terkalahkan). Sisa kultus itu ialah pandangan
hari pekan pertama sebagai "Hari Matahari" (Sunday), yang berarti juga
"Hari Tuhan" (Do Minggos). Sisa lain ialah kata-kata "orientasi" yang
berarti "mencari arah," dalam hal ini mencari arah timur, arah matahari
terbit.

Kaum Yahudi mungkin tidak menganut suatu paham geo-kultural, karena mereka
tidak pernah berkuasa atas suatu negeri dan menguasai suatu wilayah
geografis secara berarti dalam jangka waktu yang cukup lama. Tetapi mereka
menganut paham kultural-keagamaan yang sangat dikotomis, yang membagi umat
manusia atas diri mereka sendiri sebagai "bangsa pengemban perjanjian
(dengan Tuhan)" (B'nai B'rith - "The Children of the Covenant"), sedangkan
semua manusia lain adalah "gentile," tidak saja dalam arti
"bangsa" seperti makna menurut aslinya dalam bahasa Ibrani, tapi juga
dalam isyaratnya yang bernada merendahkan bangsa-bangsa selain bangsa
Yahudi. Mereka di masa Israel kuna memandang semua orang lain secara moral
jahat dan kotor. Kaum Mormon mengoper pandangan itu untuk menyebut selain
mereka sendiri sebagai gentile. Dan sungguh menarik bahwa sebagian kaum
Muslim India menyebut orang lain juga sebagai gentile (lihat, Encyclopedia
Americana, CD Rom 1999, s.v. "Gentile").

Umat Islam memang juga mempunyai pandangan geo-kultural dan geo-politik
yang kurang-lebih sebanding. Pertama-tama ialah pembagian manusia secara
garis besar menjadi kaum "mu'min" (mereka yang percaya kepada kebenaran,
khususnya kebenaran Ilahi), dan kaum "kafir" (mereka yang menolak
kebenaran). Jika kedua istilah itu masih berada dalam lingkup pandangan
keagamaan, maka istilah-istilah "Dar-u 'l-Islam" (Negeri Islam) atau
"Dar-u 'l-Salam" (baca: "Darussalam" -"Negeri Damai" ) berhadapan dengan
"Dar-u'l-Harb" ("Negeri Perang") jelas merupakan pandangan geo-kultural
dan geo-politik. Pandangan itu muncul dengan kuat saat-saat kejayaan Islam
di bidang politik dan militer, tidak lama setelah wafat Nabi s.a.w.

Selanjutnya, umat manusia baru saja terbebaskan dari tatanan dunia yang
secara geo-politik dibagi menjadi dua secara amat mengancam, yaitu "Dunia
Bebas" dan "Dunia Komunis." Memang ada usaha untuk menetralkan pandangan
geo-kultural yang mengancam itu, dengan diperkenalkannya pengertian "Dunia
Ketiga," bersama dengan "Dunia Pertama" ("Dunia Bebas") dan "Dunia
Kedua" ("Dunia Komunis"). Usaha yang dipelopori Indonesia itu berpengaruh
besar sekali pada suasa geo-politik global, namun konsep dikotomis "Dunia
bebas" dan "Dunia Komunis" tetap sangat dominan, sampai runtuhnya "Dunia
Komunis".

dowload: June, 1st 2009

No comments:

Post a Comment

pesan anda segera ditampilkan