Friday, January 22, 2010

“Hayy Ibn Yaqzhan” Explorasi dan Analisis Kritis terhadap Karya Ibnu Thufail


Oleh : Mohammad Anwar

BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang

Pada zaman pertengahan, Islam di Barat dan Timur telah mencapai puncaknya. Baik dalam pemerintahan maupun ilmu pengetahuan. Tapi Islam di Barat (Spanyol) lebih menjadi perhatian dunia ketika mampu mentranfer khazanah-khazanah Islam di Timur. Dan bahkan mengembangkannya. Filsuf-filsuf yang karya-karya besarnya banyak dikaji dunia, lahir di kota ini. Diantaranya, Ibnu Bajjah, Ibnu Thufail dan Ibnu Rush dan masih banyak lagi yang lainnya.
Ibnu Thufail yang menjadi kajian dalam makalah ini, juga mampu menyihir para cendekiawan dunia dengan karya monumentalnya, Hayy Ibnu Yaqzhan. Salah satu karya yang tersisa dalam sejarah pemikirannya. Risalah atau novel alegori yang bertajuk filosofis-mistis itu, menyita banyak perhatian. Hay ibnu Yaqzhan adalah refleksi dari pengalaman filosofis-mistis Ibnu Thufail. Dimana karya itu tidak lepas dari penbacaan ulang atau pengaruh dari pemikiran Ibnu Shina. Namun Ibnu Thufail di sini menghadirkan karya yang berbeda.
Melalui kisah “hay ibnu yaqzhan” ini, Ibnu Thufail menunjukkan bahwa dalam mencapai kebenaran, media yang digunakan bukanlah tunggal, akan tetapi banyak dan beragam. Dalam kisah itu, dia menampilkan sebuah novel aligoris yang mengkisahkan seorang bayi yang tedampar di hutan dan di rawat oleh seekor rusa sampai bayi itu dewasa. Tanpa latar belakang sosial budaya, anak itu dapat tumbuh dewasa dengan intelegensi yang tinggi dan mampu mencapai tingkat spiritualitas yang paling tinggi. Sehingga ia mampu menyingkap rahasia dibalik dunia ini dan mencapai titik Musyahadah, akhirnya dapat menemukan kebenaran sejati.

B. Tujuan
Dari sekilas uraian latar belakang di atas, penulisan makalah ini mempunyai tujuan agar diperoleh pengetahuan tentang Ibnu Thufail dan Karya monmentalnya. Dengan dapat memaparkan kisah hayy ibnu yaqzhan, penulis akan mencoba mengekplorasi isi kandungan kisah tersebut serta menganalisis dengan kritis. Dengan demikian akan diharapkan pemahaman yang luas dan mengetahui hikmah dari penulisan novel ini. 

C. Rumusa masalah
1. Bagaimana latar belakang pemikiran Ibnu Thufail?
2. Bagaimana kisah dan isi kandungan serta analisis terhadap “Hayy ibnu Yaqzhan”?
3. Kesimpulan

BAB II
Latar Belakang Sejarah Pemikiran Ibnu Thufail
A. Biografi Ibnu Thufail
Nama lengkap Ibnu Tufail adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Abudul Malik Ibnu Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Thufail. Dengan memiliki gelar al-Andalusi dan Al-Qurthubi. Ia dilahirkan di sebuah kota yang bernama “Wadi ash”, kota yang subur dekat Granada. Mengenai catatan kehidupannya waktu kecil sampai remaja tidak banyak ditemukan. Termasuk dimana dia memulai perjalana intelektualnya.
Ibnu Thufail lahir seitar tahun 500 H (1106) di Guadix (wadi Asy) timur laut Granada, Spanyol. Karirnya dimulai setelah bergabung dengan pemerintah di Granada sebagai dokter dan diangkat sebagai wazir (kepala aparat administrasi dan eksekutif yang berada dibawah khalifah). Kemudian dia diangkat sebagai petugas rahasia (kattim as-sirr) oleh pangeran Abu Sa’ad ibnu Abd al-Mu’min, penguasa sabtah (ceuta) dan thanjah (Tangier) pada masa Dinasti Muwahhidin. Dimasa khalifah Abu Ya’qubYusuf al-Mansur, Ia kembali ditunjuk sebagai dokter Istana dan penasehat pribadi.
Pada masa khalifah ini, filsafat menjadi perhatian lebih karena khalifah memiliki minat yang besar terhadap ilmu pengetauan. Ini membawa angin segar bagi para pemikir Islam dalam bidang filsafat, termasuk Ibnu Thufail. Pada tahun 578 H (peralihan tahun 1182 M dan 1183 M) ia mengundurkan diri dari jabatannya dan digantikan oleh Ibnu Rush yang sebelumnya direkomendasikan ketika masih duduk sebagai menteri. Ibnu Thufail meninggal pada tahun 581 H/1186 M, di Marakisy Maroko.
Semasa hidupnya dia melahirkan banyak karya yang meliputi bidang filsafat, sastra, fisika maupun metafisika. Dia juga memiliki buku-buku tentang kedokteran dan risalah-risalah dari surat menyurat dengan Ibnu Rush terkait masalah filsafat. Tapi semua karya itu sebagaian besar sudah punah. Yang tersisa hanyalah karya roman filsafatnya, Hayy Ibnu Yqzhan. Yang akan penulis bahas dalam makalah ini. Tentunya semua hasil karyanya itu dilatar belakangi oleh corak pemikiran ilmu pengetahuan pada masa itu. 

B. Perkembangan Filsafat Pada Masa Ibnu Thufail
Pemikiran dan hasil karya para tokoh Islam khususnya dalam bidang filsafat tentunya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya dan politik pada masanya, begitu juga masa-masa sebelumnya. Karena pemikiran merupakan produk budaya dari sebuah masyarakat, dimana sesaeaorang itu hidup, tummbuh dan dibesarkan. Pada massa kekuasaan Umayyah, Abad pertengahan, Islam pernah berjaya di Cordova Spanyol. Waktu itu cordova menjadi salah satu pusat peradaban dunia.
Budaya seni, sastra, filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang disana. Tokoh-tokoh besar Islam juga banyak yang lahir di sana. Seperti Ibnu Bajjah, Ibnu Masarrah, Ibnu ‘Arabi, Ibnu Hazm,asy-Syathibi dan sejumlah tokoh lainnya. Mereka ini berhasil menempatkan filsafat sebagai kajian yang berkembang disana. Seperti yang dikatakan Abed al-Jabiri, para tokoh tersebut telah berhasil membangun tradisi nalar kritis yang ditegakkan di atas struktur berfikir demonstratif (nizham al-aql al-burhani). Atau yang kemudian dikenal sebagai “epistemologi burhani”.
Oleh karena itu, sebenarnya tradisi pemikiran filsafat sudah diterapkan sejak dinasti Umayyah berdiri. Tradisi-tradis keilmuan lain, seperti syari’ah, mistis (tasawuf), dan iluminis (Isyraqi) juga terus mengalami pekembangan. Tradisi-tradisi keilmuan seperti inilah yang nantinya mempengaruhi pemikiran Ibnu Thufail. Walaupun perkembangan keilmuan ini mengalami pasang-surutmengikuti kondisi politik pemerintahan yang sedang berkuasa.
Kegiatan intelektual di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan mendapat perhatian penuh pada masa khalifah al-Hakam al-Mustanshir Billah (961-976), putra dari khalifah pertama, Abdurrahman ad-Dakhil. Pada masa ini juga dapat dikatan semaraknya transmisi keilmuan dari Timur ke Barat. Karena setelah pendirian lembaga ilmu pengetahuan tidak cukup menampung murid lagi, para cendikian muslim di Barat berhijrah ke Timur yaitu mulai dari Mesir, syam, Hijaz, hingga ke Baghdad untuk menuntut ilmu.
Al-hakam sangat cinta dengan ilmu pengetahuan, sehingga ia bersedia menanggung biaya untuk tujuan ekspedisi ke berbagai Negara. Itulah yang menjadi faktor utama bagi kegemaran umat Islam untuk menuntut ilmu dan mendalami buku-buku filsafat. Menyangkut hal ini, penulis sejarah filsafat dalam Islam, De Boer berpendapat bahwa peradaban yang dicapai pada masa al-Hakam lebih megah dan lebih produktif daripada yang dicapai oleh dunia Islam Timur.
Seiring berjalannya waktu, sejarah mengatakan tidak selamanya zaman keemasan ini berlangsung hidup. Setelah tampuk kekuasaan digantikan oleh putra al-Hakam, Hisyam al-Mu’ayyid Billah. Karena dia lebih cenderung kepada pengetahuan syari’at dan anti filsafat. Akhirnya kegiatan intelektual pun kembali fakum dan ajaran filsafat kembali dikatan sesat.
Walaupun kondisi sangat tidak mendukung, kegiantan menekuni filsafat dilakukan secara sembunyi. Sampai akhirnya berdirilah dinasti al-Muwahhidin, dimana ketika pemerintahan dipegang oleh Abu Ya’qub Yusuf al-Mansur (558-580 H) filsafat mulai terlihat titik terangnya. Masa inilah Ibnu Thufail hidup dengan menekuni bidang filsafat. Kedekatannya dengan penguasa, bahkan dipercaya sebagai dokter dan penasehat pribadi khalifah, maka kegiatan filsafat mulai diterima kembali. Tapi hanya dalam lingkungan istana atau terbatas pada kaum elit saja.
Masyarakat masih menganggap filsafat sebagai ajaran yang sesat dan bertentangan dengan agama Islam. Dalam situasi yang tidak kondusif inilah Ibnu thufail terus menggali keilmuannya, sehinnga lahir karyanya “Hayy ibnu yaqzhan”. Dan dapat disimpulkkan mengapa Ibnu Thufail menggunakan bahasa symbol dalam karyanya tersebut. Dengan bahasa yang sederhana, diharapkan masyarakat akan mudah memahami dan lambat laun menerima filsafat sebagai kajian keilmuan. Bahkan sebagai metode berfikir dan cara pandang hidup. 

BAB II
Karya Besar Ibnu Thufail; Hayy Ibnu Yaqzhan
Roman filsafat Hayy ibnu Yaqzhan (si hidup anak si sadar) banyak menyita perhatian para sastrawan danfilsuf Timur dan Barat sejak ditulis oleh Ibnu Thufail pada abad ke-6 H (12 M). Hingga era kebangunan menyeluruh bangsa Arab modern. Naskah roman filsafat hayy ibnu yaqzhan penulis bahas agar juga mendapatkan segenap pemikiran Ibnu Thufail yang terkandung dalam kisah ini.
Hay ibn yaqzhan merupakan kisah yang memuat berbagai aspek. Seperti pendidikan, system pengetahuan, filsafat, tasawuf dan sastra. Dari aspek sastra misalnya, karya ini mengandung nilai sastra yang sangat tinggi. Dengan segala bahasa metaforis dan simbolisasi yang kuat dalam kisah ini. Dan tradisi sastra tersebut sudah lama berkembang di dunia Timur lalu berkembang dan berpindah ke bagian Barat dunia Islam dalam satu lintas generasi.
Dan perlu diketahui bahwa subtansi gagasan yang di usung roman ini bukanlah sesuatu yang sama sekali baru yang pernah ditulis. Yang berbeda dari karya ini adalah bagaimana Ibnu Thufail menampilkan gagasan filsafat yang dikemas dalam bentuk sebuah roman. Subtansi gagasannya sendiri adalah perjumpaan manusia dengan “fitrah primordial”nya ditengah alam yang primitif, dan pengembaraan intelektualnya yang mencapai kebenaran puncak tanpa pengaruh sosial sedikitpun.
Dengan judul yang sama, sebenarnya Ibnu Shina juga pernah menggunakan roman ini sebagai ilustrasi perjalanan manusia menuju pengetahuan sejati. Tapi Ibnu Shina menempatkan tokoh hayy sebagai seorang kakek yang bijak dan mempunyai pengetahuan luar bisa. Ibnu Shina juga menulis roman yang bertajuk sama yang berjudul Salman wa Absal, tapi sudah hilang tak terlacak.
Kisah hayy ibn yaqzhan dalam Risalah Ibnu Shina, bertujuan untuk menegaskan kekuatan akal dan keutamaannya dari segaka yang dimiliki manusia, termasuk naluri instingnya, semua itu tunduk pada akal. Selain itu Ibnu Shina menunjukkan bagaimana hubungannya dan koherensinya antara akal atas sampai bawah dengan teorinya berkembangnya akal sampai sepuluh. Sedangkan dalam karyanya Ibnu Thufail, lebih berkembang dengan tidak hanya mengandalkan akal sebagai pencari pengetahuan sejati, tetapi juga intuisi.
Terkait masalah yang terakhir itu, Aspek filsafat yang banyak dipengaruhi oleh Ibnu Bajjah sebagai pendahulunya dan sebagai seorang filsuf rasionalis murni, juga berperan penting karya Ibnu Thufail ini. Hal itu terlihat ketika Ibn Thufail mengakui pentingnya kesendirian di dalam mengembangkan nalar teoritis. Namun dia tidak puas terhadap peranan akal disitu. Dan dinilai oleh Ibnu Thufail bahwa karya Ibnu Bajjah, Tadhir al-Mutawahhid ini sebagai karya yang kurang sempurna . Inilah yang menjadi salah satu pemacu dalam menulis karya hay ibnu yaqzhan.
Hal lain yang dapat dijadikan latar belakang penulisan hayy ibn yaqzhan yaitu ketidak puasan Ibnu Thufail terhadap jalan yang selama ini ditempuh oleh para sufi, seperti al-Ghazali. Dan menegaskan bahwa metode iluminasi lebih tinggi dan lebih valid dalam mencapai kebenaran sejati. Kalau sedikit berbalik ke dunia timur, dimana seorang filosof yang bernama Suhrawardi juga menempatkan Iluminasi sebagaimana yang paling utama. Walaupun keduanya secara jarak sangat jauh dan tidak pernah ketemu.
Tokoh utama dalam kisah ini adalah hay ibn yaqzhan sendiri. Dimana ia mengambarkan atau perosnifikasi dari akal manusia sebagai instrument memahami alam sekitar. Berangkat dari akal murni ini, hay naik dalam tingkat selanjutnya dalam menguak rahasia alam ini. Yaitu melalui intuisi sebagai alat untuk melihat benda-benda nonmateri yang lebih tinggi derajatnya. Untuk lebih mendalami is kandungan dalam kisah hay ibn yaqzhan ini, perlu membaca ulang dan mengulas dulu isi kisah tersebut. De.ngan analisis dan tinjauan atasnya, akan lebih dipahami hikmah dan kandungannya

A. Kisah Hayy Ibnu Yaqzhan
Sebelum mengulas tentang kisah ini lebih lanjut, perlu diketahui bahwa kisah hay ibn yaqzhan merupakan uraian terhadap rahasia-rahasia filsafat timur dari Ibnu Shina. Seperti yang diungkapkan dalam muqaddimah, “saudaraku yang mulia dan tulus engkau engkau memintaku untuk memaparkan sedapat mungkin rahasia-rahasia kearifan Filsafat Timur yang pernah diajarkan oleh sang Mahaguru Abu ‘Ali Ibnu Shina” .
Kisah Hayy ibn Yaqzhan diawali dengan dua versi yang berbeda. Yang pertama, versi yang menolak gagasan swa-lahir (at-Tawallut adz-Dzati). Versi ini mengawali bahwa hayy dilahirkan dari seorang Ibu yang merupakan adik dari seorang raja kejam. Kerabat raja bernama Yaqzhan diam-diam menikahi adiknya. Adik sang raja pun mengadung benih hasil pernikahan dan melahirkan seorang bayi laki-laki. Karena pernikahan dan anaknya diketahui pihak raja, maka akhirnya bayi itu dibuang ke laut. Dan akhirnya terdampar ke pantai pulau seberang yang bernama waqwaq setelah hanyut oleh ombak yang pasang.
Versi kedua, menurut mereka yang berasumsi bahwa hay ibn yaqzhan terlahir dari bumi, atau yang mendukung gagasan swa-lahir. Mereka mengatakan di dalam perut pulau itu terdapat lempung yang sudah berfermentasi sangat lama dan sangatbesar. Sehingga bagian lempung itu berkualitas dan berpotensi dalam keseimbangan suhu yang akhirnya mempunyai kesiapan untuk membentuk gamet. Dari situlah tercipta sebuah embrio yang mengalami perkembangan dan berevolusi sebagai tubuh yang terisi oleh ruh Tuhan. Akibatdari penyinaran yang seimbang maka seorang bayi tumbuh dan lahir.
Fersi kisah selanjutnya pun sama. Yaitu seekor rusa yang menemukan bayi dan merawatnya dengan kasih sayang seperti anaknya sendiri. Penulis akan menyuguhkan kisah ini menjadi beberapa fase sebagaimana Ibnu Thufail menceritakannya. Fase pertama, hay ibn yaqzhan hidup dan beraktivitas mengikuti ibunya. Umur dua tahun hay mulai dapat melihat perbedaan antara sang rusa dengan dirinya. Seperti adanya bulu, cakar, dan sebagainya yang ada pada sang rusa. Dalam fase ini dia mulai membuat tutup aura dengan daun-daun. Belajar menirukan suara-suara rusa, membuat tongkat untuk perlindungan dirinya dari serangan binatang lain.
Sampai pada sang rusa meninggal, hayy mulai penasaran dengan kejadian itu. dia mulai menyelidiki akibat kematian ibunya. Sampai ia membedah tubuh sang rusa dan meyelidiki penyebab kematian. Ia mengenali organ-organ di dalam tubuh rusa tersebut dan mengetahui bahwa kematian itu secara badaniah disebabkan berhentinya denyut jantung.
Fase kedua, hay menemukan api yang menyala-nyala. Dia akhirnya tahu fungsi .api sebagai penerang dalam guanya, sebagai penghangat tubuh, sebagai pencipta makanan-makanan lezat. Sampai dia mengetahui panas api itu juga ada dalam tubuh ketika ia teringat membedah tubuh ibunya. Dia mulai meneliti lagi organ-organ tubuh dan didapatkannya ada saling keterkaitan antara organ satu dan lainnya sekaligus mengetahui fungsinya. Dan menyimpulkan adanya ruh hewani dalam setiap tubuh. Tingkat pengetahuan ini dicapai si bocah dalam usia 21 tahun.
Fase ketiga, dimulai ketika dia sudah menjadi seorang pemuda dan mencapai kedewasaan dan keahliannya dalam bertahan hidup. Dia terus melakukan pengamatan terhada alam sekitarnya. Dia memahami adanya perbedaan terhadap hewan-hewan serta spesiesnya, memahami benda-benda disekitarnya yang mempunyai fungsi berbeda-beda. Akhirnya ia dapat menyimpulkan ada kesamaan esensi dengan benda-benda tersebut. Ada yang kuat dan ada yang lemah. Dia meneliti segala yang hidup dan akhirnya mengerti sebab dan asal kehidupan. Fase ini berakhir ketika dia berumur dua puluh delapan tahun.
Fase keempat, ia tidak lagi mengamati benda-benda indrawi melainkan mengalihkan pada pengamatan benda-benda samawi. Si pemuda hay ibn yaqzhan melihat angkasa yang berisi bintang-bintang sebagai benda. Sebab mereka membentang dalam tiga dimensi, panjang, lebar dan tinggi. Semakin tajam pengamatan dan intuitifnya dia memahami aktivitas alam beserta keteraturannya. Pengetahuannya tentang kosmos alam ini, menggiring Hayy pada pengetahuan tentang kekekalan dan kebaruan alam semesta.
Pada saat berumur 35 tahun, ia sampai pada kesimpulan bahwa jiwa adalah sesuatu yang terpisah dari badan, dan keduanya mempunyai karakter yang berbeda. Dia terus meningkatkan perenungannya dan akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa kebahagiaan jiwa adalah ketika ia mampu menyaksikan sang Khaliq. Mengetahui jiwa bersifat abadi dan keabadiannyalah dapat bertemu sang Pencipta. Di dalam kalbunya sudah tertanam pengetahuan tentang sang Khaliq. Ia pun mengacuhkan segala pengetahuan empiris kecuali jejak-jejak yang ada pada materi-materi tersebut.
Fase keenam, sampai pada pemahaman tentang eksistensi wujud tertinggi yang kekal dan tak ada sebab bagi wujudnya namun menjadi sebab wujud segala sesuatu. Ia merenungkan segala panca indranya yang didapatinya selalu mempersepsikan benda-benda materi. Dengan mengerti bahwa yang Wajib Wujud terlepas dari benda materi mana pun, oleh karenanya Dia bisa dilihat dengan sesuatu nonmateri. Ia mendapati dirinya mempunyai esensi, yang merupakan immaterial. Dan hanya dengan esensi inilah ia dapat terus memikirkan tentang yang Wujud sempurna.
Fase ketujuh, Hayy berusaha untuk menghilangkan esensi dan keakuan dirinya. Menghilangkan bayangan-bayangan duniawi dan terus menuju pada sang Khaliq. Akhirnya dengan ketajaman dan kegigihannya dalam perenungan ia mendapatkan suatu kondisi dimana ia merasakan ketiadaan dirinya, tenggelam dalam fana’. Hayy mendapatkan maqamnya, dimana ia dapat meliahat sang Khaliq. Dia terus menjalani mujahadah dan tenggelam dalam ke-fana’an yang tiada tara.
Selanjutnya Hayy terus-menerus menjalaninya, hingga ia merasa sangat mudah untuk mencapainya. Sehingga ia bisa mencapai maqam ekstatisnya kapan pun ia mau dan dapat meninggalkannya sewaktu ia memenuhi kebutuhan fisiknya. Disinilah kesempurnaan pengetahuan sejati didapat. Ia ingin tetap berada dalam maqam yang dicapainya sampai benar-benar tidak merasakan eksistensi dirinya. Ia terus melakukan itu hingga memperoleh pengetahuan tentang esensi dirinya yang tidak lain adalah esensiNya. Semua itu dapat diperoleh hanya melalui penyinaran cahaya dari-Nya.
Hingga akhirnya Hayy bertemu dengan absal seorang ahli tasawuf dari pulau seberang yang sedang mencari hakikat agama dalam perenungan. Setelah akhirnya Hayy dan Absal berteman, keduanya menemukan kecocokan dalam memahami makna hidup. Absal pun semakin yaqin atas aqidah yang selama ini ia pegang teguh. 

B. Analisis Terhadap Kisah Hayy ibnu Yaqzhan
1. Tahapan-tahapan Pemikiran dalam Hayy ibn Yaqzhan
Setelah mencoba memaparkan secara ringkas kisah di atas, penulis dapat membaginya dalam tiga tahapan dalam pencarian. Kisah hay ibn yaqzhan yang diawali dengan perkembangan Hayy dalam beradaptasi dengan alam, belajar cara bertahan hidup, hingga dia menemukan api. Hal itu termasuk tahap pertama dalam pencarian ilmu, dengan memahami benda-benda sekitar dan mengetahui fungsinya.
Tahapan ini dapat disebut dengan tahap pengetahuan empiris. Dimana pengetahuannya masih terbatas dengan hal-hal yang terinderakan saja dengan pengamatan yang sederhana. Dari apa yang diperolehnya itu, dia semakin berusaha meningkatkan pengetahuannya. Memori-memori dari pengalaman pertamanya muncul seketika dia memahami fungsi dan kegunaan api. Dia mampu mengingat kesan pengalamannya lalu mengkorelasikan dengan pengalaman baru yang didapat.
Hayy meneruskan pengamatannya pada semua jenis binatang, tumbuhan, bebatuhan, tanah, air dan segalanya yang ada di alam bawah dengan segala sifat dan atributnya. Tidak hanya itu, dia juga mengamati benda-benda angkasa denga segala siklus yang dimilikinya. Hal tersebut menunjukkan adanya metode-metode berfikir yang digunakan, yaitu metode eskperimentasi dengan komparasi sehingga menghasilkan kesimpulan-kesimpulan deduktif.
Di sini terlihat rasionalitas pemikiran filsafat Ibnu Thufail yang sangat kental. Hal itu tentunya tidak lepas dai pengaruh Ibnu Bajjah sebagai filsuf rasional murni. Pengetahuannya tentang alam dengan segala keberagamannya, pengetahuan tentang binatang dengan segala spesiesnya, tentang angkasa dan sebagainya. Membuat ia dapat kesimpulan bahwa semua itu ada sebabnya, yang mengaturnya dan ada Wujud lain dibalik semua fenomena itu.
Inilah tahadapan kedua dari pemikiran Ibnu Thufail yaitu tahapan pemikiran filsafat rasionalis . Dari wilayah empiris lalu bergerak pada sesuatu yang tidak berbau materi. Pada tahapan ini dia mendalami pencariannya dengan kontemplasi. Pemikirannya pada wilayah ini terlihat juga ketika dia telah memahami bahwa alam ini ada permulaannya, alam ini adalah sesuatuyang baru. Maka dari itu ada suatu proses dari ada menjadi tiada. Proses itu memerlukan subyek yang sama sekali diluar sifat yang diadakan.
Tahapan terakhir dari perjalanan intelektual Ibnu Thufail dalam kisah Hayy Ibn Yaqzhan adalah tahapan tasawuf mistis melalui jalan intuitif. Hal ini dapat dilihat dari pencapaiannya ke titik penyaksian. Pencapaiannya dalam maqam tertinggi dimana ia mendapatkan pengetahuan sejati. Kisah Hayy ibn yaqzhan sampai disini mewakili pemikirannya tentang jalan mencari kebenaran tidak cukup sampai pada pengetahuan teoritik dan penalaran rasio atau akal saja. Sebagaimana ia tidak puas terhadap hasil pemikiran Ibnu Bajjah yang hanya berhenti disitu.
Maka hal itu sesuai dengan pendapatnya,”manusia tidak akan pernah bisa mencapai derajat tertinggi ini, kecuali apabila ia senantiasa memikirkan dzat-Nya, serta membebaskan diri dari segala pikiran tentang segala sesuatu yang bersifat indrawi”. Derajat inilah yang disebut olehnya sebagai derajatnya para sufi. Selain itu, ini sebagai hasil ikhtiarnya dalam mendamaikan dua aliran pemikiran yang sering dipertentangkan, yaitu pemikiran falsafah dan pemikiran sufi. Dua aliran utama itu menggunakan metode berbeda dalam mencapai kebenaran, tetapi ternyata keduanya dapat dipertemuka kembali. .
Mengenai pemikiran iluminasi Ibnu Thufail direfleksikan ketika Hayy mengetahui adanya kesamaan esensi antara dirinya, benda-benda alam sekitar dan benda yang ada di langit. Esensi-esensi dipancarkan oleh satu esensi sejati yang tak terbatas. Karena ketak terbatasan-Nya itu, Dia memanivestasikannya pada semua yang beragam ini. Tentunya dengan jalan emanasi cahaya, dimana cahaya tertinggi tidak dapat dilihat kecuali dalam keadaan bersih dan suci.

2. Harmonisasi Agama dan Filsafat
Dalam karya Ibnu Thufail “Hayy Ibnu Yaqzhan” juga terdapat pemikirannya, dimana ia ingin menunjukkan adanya harmonisasi antara agama dan filsafat intuitifnya. Dua disiplin yang sering kali dipertentangkan oleh para sarjana hingga kini. Penjelasan diatas dapat dipahami ketika Hayy ibn Yaqzhan bertemu dengan Absal, orang yang beragama dan ingin memahami agama dalam makna esoterisnya.
Dalam kehidupan Absal sebelumnya, dia melihat agama yang dijalankan masyarakat hanya dalam taraf ritual formal belaka. Dan hanya ditujukan agar kehidupan mereka didunia lebih baik. Dengan bertemu Hayy, Absal mempunyai keyakinan kuat bahwa agama juga harus dipahami sebagaimana ta’wil nya. Agar masyarakat tidak terjebak dalam kecintaan duniawi.
Begitu penting pemahaman antara keduanya. Filsafat merupakan suatu pemahaman akal secara murni atas kebenaran dalam kosep-konsep dan imajinasi yang sesungguhnya, serta tak dapat dijangkau oleh cara-cara pengungkapan konvensional. Agama melukiskan dunia atas dengan lambang-labang eksoteris. Dia penuh dengan perbandingan, persamaan, dan gagasan-gagasan antropomorfis, sehingga akan lebih mudah difahami oleh orang lain, mengisi jiwa dengan hasrat dan menarik mereka kepada kebajikan dan moralitas.
Filsafat yang menggunakan persepsi rasa, nalar, dan intuisi sebagai dasar-dasarnya, dapat menafsirkan lambang-lambang agama tentang konsep-konsep imajinasi murni yang berpuncak pada suatu keadaan yang didalamnya terdapat esensi ketuhanan dan pengetahuannya menjadi satu.
Seperti pendapat Sohier el-Kalamawy dan Mahmoud Ali Kahky (1986) bahwa Ibnu Thufail bertujuan perenungan yang murni rasional dan iman yang sejati merupakan sisi dari sebuah mata uang yang sama, dan keduanya dapat membawa manusia dekat dengan Tuhan dan bersatu secara mistikal dengannya. Oleh karena itu keduanya harus dipelajari dan dipahami secara bersamaan.

C. Pengaruhnya Terhadap Dunia Sastra

Diantara karya Ibnu Tufail, hanya Risalah Hayy ibn Yaqzan sajalah yang masih ada sampai sekarang. Karya tersebut merupakan suatu roman filsafat pendek, tetapi pengaruhnya sangat besar terhadap generasi berikutnya sehingga karya tersebut dianggap sebagai salah satu buku paling mengagumkan dari zaman pertengahan. Mengenai metodenya, ia bersifat filosofis sekaligus mistis.
Ia menyatukan kesenangan dan kebenaran dengan jalan menggunakan imajinasi dan intuisi untuk membantu akal, dan daya tarik khusus inilah yang menjadikannya termasyhur dan mendorong orang untuk menerjemahkannya kedalam bahasa-bahasa lainnya. Bahkan sampai sekarang minat dunia terhadap karyanya belum hilang. Edisi bahasa Arab baru-baru ini dari Ahmad Amin, yang diikuti terjemahan bahasa Parsi dan Urdu pada dasawarsa yang sama, cukup menjadi bukti bahwa karya Ibnu Tufail tak kalah memikat bagi dunia modern, sebagaimana ia memikat dunia pada zaman pertengahan.
Karya Ibnu Thufail ini bukan saja mempengaruhi perkembangan sastra Arab dan pemikiran Islam, tetapi juga secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi banyak sastrawan dunia. Diantara karya penulis dunia yang dipengaruhi olehnya ialah El Critican (si pengritik), karya penulis panyol Abad 17 bernama Baltazar Gracian. Karya lainnya, Robinson Cruso karya Daniel Defoe (1661-1731 M), Gullivers Travels karya Jonathan Swift (1667-1745 M) dan Jungles Books karya Rudyard Kipling (1856-1936 M). 

BAB III
Kesimpulan

Dari rangkaian penjelasan di atas, akhirnya dapat disimpulkan bahwa Karya Hayy Ibn Yaqzhan adalah karya alegori falsafah bercorak kesufian atau alegori sufi bercorak falsafah. Karya ini merupakan refleksi perjalanan intelektual dan spiritualitasnya. Dan merupakan hasil penafsiran kritisnya terhadap apa yang di tulis Ibnu Shina, sebagaimana dijelaskan dalam muqaddimah. Tapi Ibnu Thufail tidak kehilangan orisinalitasnya dan mampu membuat pokok pemikiran yang berbeda.
Ibnu Thufail dengan Karyanya alegorisnya, Hayy Ibn Yaqzhan, sebenarnya ingin membangun sebuah struktur pengetahuan yang lebih dari yang telah dirintis oleh Ibnu Bajjah melalui teori penyatuannya. Ibnu Thufail bahkan telah berhasil menempuh jalan itu. Setelah menelaah karyanya itu, penulis dapatkan struktur filsafat Ibnu Thufail dibangun di atas dua model pengetahuan sekaligus, yaitu pengetahuan diskursif yang dibangun di atas dasar rasio (al-‘aql) dan pengetahuan intuitif mistis(kasyfiyyah-dzauqiyyah) yang didasarkan pada ketajaman intuisi. Struktur inilah yang disebut oleh Ibnu Thufail sebagai rahasia-rahasia filsafat Timur.
Berkat kepiawaiannya dalam menghadirkan suatu novel dengan bahasa yang sederhana namun mempunyai nilai sastra yang tinggi, Ibnu Thufail sebagai filosof, sastara maupun agamawan disegani oleh para pemikir dan sastrawan dunia yang terilhami oleh karyanya. Karya itu sampai sekarang masih menarik untuk digali dan dikaji. Karena banyak aspek-aspek yang terkandung didalamnya, seperti falsafah, sastra, tasawuf dan masih banyak lagi. Yang tidak dapat penulis tela’ah semua. Oleh karena itu sebagai akademisi kita harus terus mengkaji khazanah pemikiran Islam yang juga terdapat pada sastrawan atau filosof lain selain Ibnu Thufail.


Ciputat Baru, 11 Januari 2010

Daftar Pustaka:

Hadi, Abdul W.M. Sastra Islam I, Karya-karya klasik terpilih dari Sastra Arab dan Persia.Universitas Paramadina Jakarta.
Thufail, Ibnu, Hayy Ibnu Yaqszhan, (trjmah). (Bekasi Timur: penerbit Menara 2006).
Mansuri, Hadi, Ibnu Thufail, jalan pencerahan menuju Tuhan, (Yogyakarta: LKiS 2005).


No comments:

Post a Comment

pesan anda segera ditampilkan