Monday, February 14, 2011

Menelusuri Makna Surga Dalam Islam

Oleh: Mohammad Anwar
Berbincang surga dan neraka, sering dikaitkan pada apa yang disebut dalam al-Qur’an sebagai tempat yang dijanjikan Allah kepada makhluknya yang beramal shaleh.  Dan ketika ada pertanyaan seperti apa surga dan neraka itu? Dimana tempatnya? Tentu akal tida dapat menjangkaunya. Kebanyakan orang menjawab bahwa itu merupakan kepercayaan dalam agama (Islam) dan yang berkaitan dengan kepercayaan tidak untuk diperdebatkan atau didiskusikan. Yang penting diimani, titik! Pembelaan diri menjawab: akal kita terbatas, kita tidak bisa menjangkau yang ghoib-ghoib, percaya saja biar tidak jadi kafir! Atau bahkan murtad.

Pernyataan-pernyataan awam tersebut, menunjukkan adanya ketakutan untuk menjelaskan surga dan neraka yang jelas ditertera dalam Qur’an, kecuali sebatas apa yang disebutkan Qur’an. Lebih dari itu, apa yang disebutkan al-Qur’an tentang Surga Neraka terkesan tidak bisa dirasionalkan atau dipahami secara jelas. seperti apa maksud al-Qur’an. 

Dalam tulisan ini, penulis ingin mengeksplor apa yang dimaksud surga dan neraka itu. Dan tulisan ini juga, lebih fokus pada pembahasan “surga”, walaupun juga mengungkap sekilas tentang “neraka” sebagai lawan atau istilah yang sering disandingkan. Tentunya dengan mengkaji berbagai pendapat yang nantinya tak lepas dari yang dimaksudkan Qur’an. Salah satunya, pandangan Mulla Sadra. Apakah Surga neraka itu benar-benar seperti tempat yang indah? Dimana bersifat material atau mungkin bersifat immaterial.

Pemahaman atas Surga

Sebenarnya “surga, neraka” merupakan terjemahan dari kata jannah dan nar dalam al-Qur’an yang dianggap paling tepat, oleh para penerjemah tentunya. Kata “surga” sendiri berasal dari  kata sanskerta, suarga, dari suku kata suar dan ga. Suar artinya cahaya, dan ga artinya perjalanan.[1] Dengan demikian, pada mulanya surga berarti perjalanan ke dunia cahaya. Pengertian ini terdapat dalam ajaran Hindu-Budha. Bagaimana dalam ajaran Islam?

Dalam al-Qur’an (Islam), konsep surga dimaksudkan terjemahan dari kata bahasa arab, jannah - jamak dari Jinan - yang berarti “kebun, taman”. Ia adalah tempat yang kekal di akhirat dan diperuntukkan bagi hamba-hamba Allah Swt yang beriman dan beramal shaleh, tempat yang memberikan kenikmatan yang belum pernah dirasakan ketika hidup di dunia dan sebagai balasan jerih payah memenuhi perintah dan menjauhi larangannya.[2]

Dari arti “kebun” itu, tampaknya sangat sesuai ketika Al-Qur’an melukiskan Al-Jannah (surga) sebagai sebuah tempat yang indah, dipenuhi pohonn-pohon rindang, sungai yang airnya mengalir jernih dan segala keindahan lainnya. Hal tersebut dimaksudkan dan juga sejumlah penafsir menggarisbawahi bahwa keadaan di surga, begitu indah dan nikmatnya sampai tidak terbayangkan oleh manusia.

Di dalamnya terdapat segala sesuatu yang memikat dan menyenangkan hati serta pandangan, di dalamnya terdapat segala sesuatu yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didengar oleh telinga dan belum pernah terpikirkan oleh akal pikiran. Oleh karena itu, Allah subhanahu wata'aala berfirman:

فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ  

Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (As Sajdah: 17).

Sebagaimana diungkap di atas, surga dan neraka merupakan kelanjutan alami dari perbuatan baik dan jahat manusia. Secara logis manusia memerlukan keduanya sebagai balasan amal mereka. Jika beramal sholeh balasannya adalah surga dan sebaliknya neraka adalah buat orang kafir dan ingkar terhadap ayat-ayatnya. Ini lebih menjelaskan lagi bahwa surga merupakan tempat yang bagus dan sebaliknya dengan neraka.

إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا (107) خَالِدِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ عَنْهَا حِوَلًا (108)‏

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah daripadanya.” (Al Kahfi: 107-108).
  
 Bentuk Surga

Mengenai bentuk surga, pandangan dari Islam masih banyak perbedaan. Apakah surga itu merupakan sesuatu yang baru atau bersifat kekal? Ataukah surga itu merupakan bentuk spiritual atau bersifat materi/fisik seperti yang dirasakan di dunia ini? Atau seperti apa?

Secara umum, sebagaian ulama menyatakan bahwa kehidupan akhirat adalah kehidupan ruh, bukan kehidupan jasmani. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa bentuk surga dan neraka bersifat spiritual dan intelektual. Selanjutnya mereka mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an dan butir-butir hadits yang menginformasikan tentang makanan surga, minuman surga, pohon surga, sungai surga, tidak menunjuk dan mengacu pada makna yang sebenarnya.[3]
 
Lebih dari itu, kenikmatan surga dalam al-Qur’an hanya bersifat spiritual dan merupakan kias dari kenikmatan yang besar. Meminjam istilah Taufik, kenikmatan yang bersifat psiko-spiritual akan lebih nyata dan terasa dibandingkan kenikmatan yang bersifat fisik belaka.

Pandangan yang lain tentang bentuk surga, datang dari yang berpendapat bahwa kehidupan akhirat itu bersifat materi. Alasan yang diajukan tentunya kembali pada al-Qur’an dan Hadits yang memang menginformasikan apa adanya (tekstual).  Otomatis mereka yang menganggap demikian, memahami apa yang ada  dan disebutkan Qur’an tentang makanan dan minuman atau tempat lainnya bersifat materi. Pendapat ini diwakili oleh Al-Asy’ary yang Jabariyah.

Selain dua pendapat umum di atas, juga banyak pendapat lain yang berbeda, sebut saja para filosof yang argumentatif. Mengenai perdebatan bentuk dan hakikat surga, akan penulis coba jelaskan bab selanjutnya yang dianggap cukup mewakili.

Surga Menurut Ahlu Sunnah

Ahlus Sunnah wal Jamah meyakini bahwa Surga dan Neraka adalah makhluk Allah. Surga disediakan untuk orang-orang yang bertakwa lagi Mukmin. Sedangkan Neraka disediakan untuk orang-orang kafir. Sebagaimana tercantum dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.

Al Imam Al Hasan bin Ahmad Al ‘Athar Al Hamadzani dengan sanadnya yang sampai kepada Ibnu Abi Hatim berkata :
Aku bertanya kepada ayahku dan Abu Zur’ah radhiallahu 'anhuma tentang madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah dan mereka peroleh dari ulama di seluruh negeri.” Kemudian beliau menyebutkan secara global akidah keduanya dan berkata : “Surga dan Neraka itu benar, keduanya adalah makhluk, keduanya tidak akan binasa. Surga sebagai balasan untuk wali-wali-Nya dan Neraka sebagai hukuman bagi orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya, kecuali orang yang dirahmati.” (Dzikrul I’tiqad wa Dzammul Ikhtilaf, hlm: 910. Dikutip dari Ibnu Zamain tahqiq Abdullah Al Bukhari, Riyadlul Jannah bi Takhrij Ushulis Sunnah, hlm: 134).

Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Surga dan Neraka sudah ada sekarang meskipun golongan Mu’tazilah menentang permasalahan ini. Abul Hasan Al Asy’ari mengatakan bahwa telah terjadi perselisihan tentang Surga dan Neraka, apakah keduanya telah diciptakan atau belum. Maka Ahlus Sunnah meyakini bahwa keduanya telah diciptakan. Sedangkan mayoritas ahlul bid’ah menyatakan bahwa keduanya belum diciptakan. (Maqalat Al Islamiyyah, 2/168)[4].

Ibnu Abil ‘Izzi menyatakan : “Ahlus Sunnah telah bersepakat bahwa Surga dan Neraka adalah makhluk dan sudah ada sekarang. Ahlus Sunnah terus menerus dalam keadaan seperti itu.” Seorang Imam Ahus Sunnah wal Jamaah di masanya, yaitu Imam Abu Muhammad Al Hasan bin Ali Al Barbahari (wafat 329 H) menyatakan dalam Syarhus Sunnah : “Kita mengimani bahwa Surga dan Neraka adalah benar adanya, keduanya adalah makhluk. Surga berada di langit yang ketujuh dan atapnya adalah Arsy. Neraka di bawah bumi yang ketujuh. Keduanya telah diciptakan. Allah Maha Mengetahui tentang jumlah penduduk Surga dan orang yang masuk ke dalamnya dan jumlah penduduk Neraka. Keduanya tidak hancur dan akan kekal bersama Allah selama-lamanya.” (Syarhus Sunnah. Al Barbahari. Tahqiq Ar Radadi:  74).[5]

Imam Abu Bakr Muhammad bin Al Husain Al Ajurri (wafat 360 H) mengatakan dalam kitabnya Asy Syari’ah : “Ketahuilah - semoga Allah merahmati kita semua - sesungguhnya Al Qur’an bersaksi bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menciptakan Surga dan Neraka sebelum menciptakan Adam as. dan telah menciptakan bagi Surga penghuninya dan bagi Neraka demikian juga sebelum Dia menciptakan mereka ke dunia. Orang-orang yang dilingkupi Islam dan merasakan manisnya iman tidak berselisih dalam hal ini. Hal tersebut telah ditunjukkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah, maka kita berlindung kepada Allah terhadap orang yang mendustakan hal ini.” (Asy Syari’ah. Al Ajurri : 345. dikutip dari Ta’liq Abdul Hamid Faqi).[6]

Sedangkan kaum Mu’tazilah dengan Qadariyahnya mengingkarinya dan mengatakan bahwa Allah menciptakan Surga dan Neraka nanti di hari kiamat. Mereka menyatakan bahwa apabila Surga diciptakan sebelum hari pembalasan, maka hal ini adalah perbuatan yang sia-sia karena Surga akan kosong dalam waktu yang lama. Mereka pun menolak dalil-dalil yang membantah pemahaman mereka. Ini sesuai dengan pemikirannya yang cenderung aqliyah atau yang berdasarkan akal manusia.

Jika melihat dengan detail semua keterangan yang dikutip di atas, orang-orang ahlusunnah masih menguraikan apakah surga itu sudah dicipta atau belum. Belum secara detail bagaimana bentuk surga dan bagaimana terciptanya. Disini hemat penulis - selain memang ini merupakan penjelasan dari kalangan teolog - pendapat tersebut memang sesuai dengan dogma ahlussunnah bahwa kita hanya wajib mempercayai apa yang disampai dalam Qur’an. Mereka memahami Qur’an secara tektual apa adanya. 

Karena itu wajar bahwa mereka melihat surga dan neraka seperti apa yang dijelaskan tekstual dalam Qur’an. Tidak menggunakan dalil rasional sebagaimana Mu’tazilah. Walaupun Mu’tazilah juga masih berkutat pada pembahasan sudah diciptanya surga atau belum. Untuk mengatasi kekurang jelasan pendapat dari kelompok teolog, mungkin tepat jika beranjak menuju uraian yang lebih bersifat filosofis. Tentunya filsafat Islam menjadi orientasinya, yang juga tidak mengabaikan sumber wahyu. Dengan demikian penjelasan dari Mulla Sadra menjadi pilihan penulis terkait tentang makna surga.

Hakikat Surga Menurut Mulla Sadra

Mulla Sadra, seperti dalam pemikiran eskatologi sebelumnya selalu mendasarkan argumennya pada telaah rasional. Selainnya juga dari teks wahyu dan ucapan para imama. Walaupun argumentasinya mandek pada akhir gerakan subtansial. Seperti pada umumnya, dalam melihat surga, Mulla Sadra menggambarkan sebagai sifat yang menunjukkan tempat keabadian dan keselamatan yang tidak ada kematian, kelemahan, sakit, derita, kesulitan, kehilangan maupun kelenyapan.

Jelasnya, Sadra menegaskan bahwa apa yang ada di surga semuanya bersifat intelek dan sama saja tidak ada materi, gerak, sebab aktivitas, pembaharuan dan perpindahan karena wujud di surga tiada lain adalah wujud formatif.[7] Hal ini tampaknya argumentasi rasional tidak menyeluruh masuk dalam penjelasan hakikat surga. Tapi pendekatan mukasyafah dan nash tampaknya lebih dominan. Walaupun dia juga mengatakan surga sesuai dengan tingkat kecenderungan jiwa masing-masing penghuninya.

Untuk membaca lebih detail lagi hakikat surga Sadra, kiranya perlu diketahui bahwa Sadra membagi Surga kedalam dua kategori, yaitu Surga Indrawi dan Surga Intelek. Surga Indrawi adalah surga yang berisikan beragam forma tanpa materi dan dapat dipersepsikan secara indrawi dan dapat mengalami perubahan. Sedangkan surga intelektif berisikan forma-forma intelek (akliah) dan imajinal bercahaya[8]. Kedua kategori ini memperlihatkan pembagian dari kwalitasnya, kualitas jiwa. Dan penghuninya akan merasakan berdasarkan kwalitas jiwanya.

Pembagian di atas seperti diungkapkan Khalid, berdasarkan QS 55: 46, yang berarti “dan bagi yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga”. Dari sini juga Sadra membagi kelompok yang masuk dalam kategori tersebut, yaitu kelompok kanan dan kelompok orang-orang yang dekat dan punya kedudukan sangat tinggi. Artinya,  surga neraka merupakan sebuah produk dari amal atau kwalitas jiwa manusia itu sendiri. Jika amal seseorang terus dilakukan dengan niat karena hanya untuk diri-Nya, maka jiwanya akan menjadi suci dan terjaga.  Apabila jiwanya selalu dalam kedaan suci, maka dia akan selalu dekat dengan Tuhannya.

 Kesimpulan

Berdasarkan semua penulusuran tentang surga diatas, kesimpulan sementara penulis akan sedikit meresume. Bahwa benar, surga ( dan neraka) merupakan tempat yang telah dijanjikan Allah untuk orang-orang yang selalu menghamba (beramal soleh) pada-Nya. Begitu juga neraka untuk orang-orang  yang membandel (tidak mengikuti firman-Nya) pada-Nya. Oleh karena itu, keduanya (surga dan neraka) niscaya ada dan wajib diimani oleh semua makhluqnya. Tapi penulis juga mungkin mendapat kesimpulan yang lebih setelah konsep (makna) surga bisa ditelusuri lagi (dalam space yang terbatas).

Jika lagi-lagi ingin mengacu pada filosof, seperti Ibnu Shina: maka sebelum membahas surga ia menawarkan bahwa harus dipahami dulu apakah ma’ad (kebangkitan) itu jasmani atau ruhani dan apa buktinya. Misalnya ma’ad itu sesuatu yang bersifat ruhani, maka surga juga ruhani. Begitu pun sebaliknya. Sebagian filosof menganggap surga bersifat ruhani. Walaupun teks (wahyu; Qur’an) menggambarkan secara jasmani, tapi apa yang disampaikan teks perlu ditakwilkan. Artinya, mereka menganggap bahwa ada makna yang “dalam” dibalik penggambaran teks tersebut. 

Mendapat inspirasi dari tawaran Ibnu Sina, kembali pada pembahasan “wujud” menurut penulis menjadi solusi yang cukup penting. Karena pertama, semua muslim menyetujui dan meyakini bahwa Surga itu ada. Masalahnya hanya, bagaimana adanya dan meng-adanya. Ini juga tidak terlepas dari penjelasan irfan teori tentang wahdatul wujud. Bahwa semua yang ada adalah “satu” yaitu diri-Nya. Pluralitas ciptaan ini hanya sebuah cerminan atau manivetasi-Nya. Termasuk manusia sebagai ruh-Nya.

Ruh manusia bergerak terus menuju penyempurnaan. Dalam istilah Sadra, “gerak subtansi” (sebagian filosof menentang). Ruh atau jiwa ini berasal dari_Nya, ketika jiwa ini keluar atau lepas, nantinya pasti rindu ingin kembali, kembali ke asal muasalnya. Bagaikan rindu akan kampung halangamannya. Tentu kembalinya melalui proses tingkatan alam. Dari alam lahut – jabarut – malakut -  nashut, dan kembali ke lahut dengan prosesnya masing-masing. Innalillahiwainnaillaihirojiun.. proses (penyempurnaan) menuju jabarut ke lahut, ada pembakaran (inilah yang dapat diartikan sebagai nerakanya) sampai tidak ada tanda-tanda nabut yang masih melekat dalam diri.

Penyempurnaan itulah yang nantinya akan mendapatkan surganya masing-masing. Berdasrkan kualitas amal setiap orang. Dengan kata lain, surga merupakan hasil dari masing-masing amal manusia. Berupa kenikmatan yang tak tergambarkan oleh akal, kecuali kita bisa “merasa” langusng pada objek. Jadi tidak heran jika surga tersebut terbatasi dengan makna harfiah (penjelasan teks) dalam qur’an.

Oleh karena itu, kesimpulan akhir tulisan ini adalah jelas masing banyak perbedaan dalam memahami makna surga. Karena memang semua kalangan (teolog-filosof-sufi) mempunyai pendekatan yang berbeda untuk melihat itu. Makanya, penulis dalam hal ini lebih cenderung ke pemahaman dari irfan dengan penjelasan filsafat. Artinya, walaupun totalitas pemahaman akan surga sulit dicapai, setidaknya dapat dipahami secara sederhana dengan pendekan rasional.

Agar tidak terjadi pengertian bahwa surga neraka itu sebuah tempat dengan berbagai keindahnnya, sentuhan logis penting digunakan. Surga akan muncul dengan sendirinya sebagai konsekwensi perbuatan manusia. Semakian tinggi kwalitas amal yang dikerjakan semakin tinggi juga kwalitas surga yang dihasilkan. Seperti disebutkan surat al-Kahfi :108 diatas, bahwa firdaus sebagai simbol kwalitas surga yang tinggi. Bahkan karena ruh itu terus berjalan (penyempurnaan) dari sebelum kiamat, surga dan neraka dalam pengetian yang beda sudah menyertai amal manusia di dunia ini dan berproses dari sekarang menuju pada-Nya.

Sehingga akhirnya penulis setuju dengan apa yang disuguhkan dalam karyanya Achmad Chodjim, “Membangun Surga”.  Bahwa makna surga tidak melulu dinisbatkan pada sebuah tempat di akhirat nanti untuk orang-orang yang terpilih atau beramal shaleh. Tapi juga dimaknai semacam keindahan dan tenang didalamnya.

Ciputat, 23 Januari 2011
Penulis,


Daftar Pustaka

Kholid Al-Walid, Analisa Filosofis Terhadap Konsep Eskatologi Mulla Sadra. (skripsi)
Chodjim, Achmad. Membangun Surga, bagaimana hidup damai di bumi dan damai pula di akhirat. Jakarta : Serambi, 2005.
Abdul Mujieb, Syafi’ah, Ahmad Ismail. Ensiklopedi Tasawuf Imam Al-Ghazali. Jakarta: Hikmah, 2009.
Taufik, Ahmad. Negeri Akhirat, Konsep Eskatologi Nuruddin Ar-Raniri. Solo: Serangkai Pustakan Mandiri, 2003.
Ibnu Zamain tahqiq Abdullah Al Bukhari, Riyadlul Jannah bi Takhrij Ushulis Sunnah, di akses dari http://www.facebook.com/topic.php?uid=342976860796&topic=16328
Kajian masjid assalam sumberjo. Fiqih Kitab al wajiz fi fiqhis sunnati wal kitabil aziz dan Aqidah Syarakh utsulu tsalatsah. Di akses dari ­_______________


[1] Achmad Chodjim. Membangun Surga, bagaimana hidup damai di bumi dan damai pula di akhirat. Jakarta : Serambi, 2005. Hal. 12.
[2] Abdul Mujieb, Syafi’ah, Ahmad Ismail. Ensiklopedi Tasawuf Imam Al-Ghazali. Jakarta: Hikmah, 2009. Hlm.221.
[3] Ahmad Taufik. Negeri Akhirat, Konsep Eskatologi Nuruddin Ar-Raniri. Solo: Serangkai Pustakan Mandiri, 2003. Hlm.46.
[4] Kajian masjid assalam sumberjo. Fiqih Kitab al wajiz fi fiqhis sunnati wal kitabil aziz dan Aqidah Syarakh utsulu tsalatsah. http://www.facebook.com/topic.php?uid=342976860796&topic=16328.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Khalid al-Walid. Analisa Filosofis Terhadap Konsep Eskatologi Mulla Sadra. Hlm.230.
[8] Ibid.

3 comments:

  1. Gambarkan secara gamblang surganya Islam itu seperti apa dan merujuk ke quran dan hadist

    ReplyDelete
  2. Jika definisi Sorga hanya merupakan hasil sebuah karya dari suatu impian manusia tertentu, tentu hal tersebut bisa akan tidak sejalan dg pemahaman manusia lainnya.

    contoh: pada Abad ke 5 - 7, wanita cantik merupakan salah satu hiburan dan sering sekali dijadikan untuk hadiah sebuah prestasi, seperti seorang Raja memberikan wanita cantik / bahkan putrinya untuk suatu imbalan atas pemenuhan hasrat seorang raja.

    nah pada abad sekarang tentu hal tersebut tidaklah lazim untuk diterapkan bahkan pada abad sekarang wanita bukan dijadikan obyek suatu hadiah untuk prestasi tertentu.

    jika manusia meninggal dan setelah itu bangkit menjadi manusia lagi, tentu manusia tersebut tidak akan pernah merasa puas akan segala sesuatu yg diberikan, kemewahan / kenikmatan macam apapun tentu akan memiliki batas dimata seorang manusia.

    lalu apa artinya: lahir, mengikuti perintah, lalu mati... masuk sorga ?!?!
    di sorga pun, jika manusia dihadapkan dg kenikmatan semu akan lebih cepat bosan, segala kemudahan dan kenikmatan yg diterima akan terasa hampa tanpa ada teman atau manusia lainnya yg menyaksikan kehebatannya.
    seperti Penyanyi Hebat di atas panggung mewah dan megah tapi tanpa ada penonton.

    oleh sebab itu Sang Budha Gautama dalam kemewahan dan kenikmatan yg beliau terima berpikir... Untuk Apa Saya Di Lahirkan ?!?!

    di Hindu dalam konsep Reikarnasi menyebutkan bahwa Nasfu adalah sesuatu yg akan merekat kuat dalam diri manusia, jika manusia bisa melepas segala nafsu, maka manusia itu akan memperoleh Moksa (roh yg bersatu dengan Atman / Tuhan).

    dan pada abad selanjutnya, apa konsep Sorga masih bisa di terapkan ??!?!

    ReplyDelete
  3. Jika definisi Sorga hanya merupakan hasil sebuah karya dari suatu impian manusia tertentu, tentu hal tersebut bisa akan tidak sejalan dg pemahaman manusia lainnya.

    contoh: pada Abad ke 5 - 7, wanita cantik merupakan salah satu hiburan dan sering sekali dijadikan untuk hadiah sebuah prestasi, seperti seorang Raja memberikan wanita cantik / bahkan putrinya untuk suatu imbalan atas pemenuhan hasrat seorang raja.

    nah pada abad sekarang tentu hal tersebut tidaklah lazim untuk diterapkan bahkan pada abad sekarang wanita bukan dijadikan obyek suatu hadiah untuk prestasi tertentu.

    jika manusia meninggal dan setelah itu bangkit menjadi manusia lagi, tentu manusia tersebut tidak akan pernah merasa puas akan segala sesuatu yg diberikan, kemewahan / kenikmatan macam apapun tentu akan memiliki batas dimata seorang manusia.

    lalu apa artinya: lahir, mengikuti perintah, lalu mati... masuk sorga ?!?!
    di sorga pun, jika manusia dihadapkan dg kenikmatan semu akan lebih cepat bosan, segala kemudahan dan kenikmatan yg diterima akan terasa hampa tanpa ada teman atau manusia lainnya yg menyaksikan kehebatannya.
    seperti Penyanyi Hebat di atas panggung mewah dan megah tapi tanpa ada penonton.

    oleh sebab itu Sang Budha Gautama dalam kemewahan dan kenikmatan yg beliau terima berpikir... Untuk Apa Saya Di Lahirkan ?!?!

    di Hindu dalam konsep Reikarnasi menyebutkan bahwa Nasfu adalah sesuatu yg akan merekat kuat dalam diri manusia, jika manusia bisa melepas segala nafsu, maka manusia itu akan memperoleh Moksa (roh yg bersatu dengan Atman / Tuhan).

    dan pada abad selanjutnya, apa konsep Sorga masih bisa di terapkan ??!?!

    ReplyDelete

pesan anda segera ditampilkan